Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Robohnya Kampung Kami

11 April 2016   18:35 Diperbarui: 13 April 2016   22:30 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pembongkaran harus dilanjutkan walaupun banyak resiko dan korban. Kita selama ini sudah mengalah dan mengalah kepada masyarakat," ungkapnya dengan diksi kesal.

"Tidak ada toleransi dan tidak ada ganti rugi karena tanah itu adalah tanah milik negara," lanjutnya sambil masuk ke dalam mobil.

Bagi masyarakat Kampung Duka yang merupakan penduduk asli daerah ini, Kampung Duka bukan sekedar tempat pemukiman semata, namun di Kampung ini sejumlah peristiwa telah mareka lewatkan semenjak puluhan tahun yang lalu bersama para penghuni lainnya secara turun temurun. Beragam kisah hidup telah mareka alami dan nikmati sebagai penduduk Kampung Duka. Tak heran mareka secara beranak pinak telah mendiami pemukiman itu sehingga melahirkan komunitas asli yang makin tersingkirkan dari sibuknya Kota.

"Pak Petinggi Daerah harus tahu, kami tinggal disini semenjak dari dulu. Tanah ini adalah warisan dari nenek moyang kami yang kami warisi dan tinggalkan. Mohon Bapak memahaminya," ungkap seorang warga dalam pertemuan dengan petinggi daerah beberapa hari sebelum penggusuran dilakukan.

"Benar sekali. Saya juga lahir dan besar disini, hingga akhirnya berkeluarga," ungkap warga lainnya.

"Saya tahu dan pahami akan sejarah itu. Yang menjadi pertanyaan kenapa anda sekalian tak memiliki surat tanah yang syah sesuai dengan aturan dinegeri ini? Kalau bapak-bapak tak memiliki surat yang syah sebagaimana yang diatur dalam peraturan negara, artinya anda semua penduduk ilegal dan dapat dikatakan sebagai penyerobot tanah negara," jelas petinggi daerah dengan nada berapi-api.

"Kami ini manusia Pak. Kami penduduk asli Kampung ini. Tradisi kami secara turun menurun di disini tak mengenal kata menyerobot dan mengambil hak orang lain. Biar Bapak tahu banyak tanah di Kampung ini yang kami berikan secara gratis dan cuma-cuma kepada warga lainnya untuk perkembangan Kampung ini. Adalah naif kalau Bapak bilang kami sebagai penyerobot tanah negara. Dan perlu bapak ketahui sebelum negara ini dideklarasikan moyang kami sudah tinggal dan hidup disini. Termasuk melawan penjajah pun moyang kami lakukan di kampung ini," ungkap tetua Kampung. Dan muka petinggi daerah pun memerah.

"Dan kalau memang kami dianggap sebagai penghalang pembangunan, maka bom saja kampung ini, Pak. Ayo lakukan sekarang," seru seorang warga lainnya. Dan dialog pun terhenti. Para petugas keamanan kembali sigap menanangkan situasi pertemuan.

Diruang kerja petinggi daerah, berkumpul sejumlah orang. Mareka tampak sedang asyik bertukar pikiran. Kadang nada bicara mareka seakan berbisik. Kadang suaranya mareka mengeras gempitaklan bumi. Tak jarang suara ketawa terbahak-bahak dari mareka warnai pertemuan itu.

" Initinya kita minta Pakbos lah yang menyelesaikan bagaimana baiknya sehingga semua berjalan dengan baik. Bukankah proyek itu akhirnya jatuh kepada Pakbos juga," ujar petinggi daerah sambil menoleh kepada seseorang berkulit putih yang sedari tadi cuma banyak berdiam diri.

"Siap. Siap," jawabnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun