Sebagai Presiden Jokowi dalam 100 hari ini memang kerapkali melakukan langkah blunder dalam menata kelola bangsa besar ini. Mulai dari menyusun menteri hingga penetapan Calon Kapolri. Semuanya menjadi buah bibir masyarakat dalam bentuk narasi beraroma manis dan pahit.
Kondisi ini diperburuk dengan narasi dan diksi para pembantunya dalam Kabinet Kerja yang kadangkala membuat blunder dalam kebijakan dan narasi sebagaimana yang diaksikan Menkopolhukam dan menteri Kelautan dan Perikanan dalam 100 hari ini.
Sebagai Kepala Pemerintahan, Jokowi membawahi para Kepala daerah baik ditingkat provinsi maupun Kabupaten. Dan untuk mensinergikan kebijakannya dengan daerah, Jokowi mengundang Gubernur dan Para Bupati/Walikota seluruh negeri ini untuk bertukar pandangan dan memastikan soal kebijakannya terhadap rakyat dan daerah.
Pertanyaan kita adalah apakah kebijakan dan political will Jokowi akan diterima dengan baik oleh para Gubernur dan Bupati/Walikota?
Sebagaimana kita pahami peran Gubernur dan Bupati/Walikota sebagaimana tertera dalam UU dan berbagai regulasi sangat besar dalam menentukan kebijakan dan arah pembangunan daerah. Atas nama otonomi daerah, Gubernur dan Bupati/Walikota mempunyai kewenangan yang sangat besar dalam menentukan arah kebijakan daerahnya masing-masing.
Sebagai analogi faktual adalah pengangkatan Sekda Sumatera Utara yang dilakukan Gubernur Sumut. Padahal dalam regulasi dan peraturan Mendagri tertera dengan jelas dan tegas soal tatacara pengangkatan pejabat dalam jabatan yang tidak memperbolehkan birokrat dalam kasus sebagai TSK untuk memegang jabatan di pemerinatahan. Nyatanya Gubernur Sumut bisa mengangkat Sekda yang terkategori sebagai terdakwa. Padahal PP NO 100 tahun 2000 telah mengatur tentang pengangkatan birokrat dalam jabatan.
Didaerah kami Bangka Selatan, Bupati dengan kewenangannya bisa mengangkat birokrat dari kalangan guru menjadi kepala Dinas Keuangan dan Pendapatan Daerah. Bahkan dengan kewenangannya Bupati bisa memberikan amanah kepada birokrat tanpa melihat kompetensi sang birokrat sesuai dengan keinginannya.
Inspektorat Daerah sebagaimana PP NO 41 Tahun 2007 dengan tegas dalam pasal 12 dinyatakan sebagai unsur pengawasan penyelenggaraan Pemerintah daerah diamanahkan kepada mantan Kepala sekolah SMP. Padahal Inspektorat Daerah harus dipimpin seorang Inspektur sebagaimana amanat pasal 12 PP NO 41 itu.
Masih di daerah Provinsi Bangka Belitung, Gubernur Bangka Belitung dengan tegas menyatakan keberatannya atas surat dari Menteri Kelautan dan perikanan Susi Pudjiastuti yang meminta Gubernur dan Kepala Daerah di Babel untuk menghentikan kegiatan pertambangan bijih timah di laut.
Fenomena ini tentunya sungguh-sungguh perlu mendapat perhatian yang serius dari Jokowi sebagai kepala pemerintahan. Tanpa ada sikap ketegasan dari Jokowi sebagai pemimpin bangsa maka saya sungguh yakin program Jokowi-JK selama lima tahun ini tidak akan berhasil.
Sebagaimana kita pahami bersama banyak para Gubernur dan kepala daerah di Indonesia yang lebih hebat dan mumpuni saat melahirkan kebijakan dan aksi yang mensejahterakan masyarakat dibandingkan dengan Jokowi saat menjadi Gubernur DKI yang hanya berumur jagung itu dan Walikota Solo. Pencitraan media Jakarta yang membuat Jokowi seolah-olah adalah pemimpin hebat dan berkwalitas.