Hari ini, 4 januari 2015 sudah setahun saya sebagai kompasianer. Selama 365 hari melalangbuana sebagai kompasianer, banyak catatan yang saya baca untuk menambah nutrisi pengetahuan dan memperluas cakrawala berpikir. Maklum saya tinggal jauh dari Ibukota negara. Saya hanya berkehidupan di kota Toboali, yang merupakan Ibukota Bangka Selatan. Salah satu Kabupaten di Provinsi Bangka Belitung yang dikategorikan Dirjen Otda sebagai Kabupaten dalam Zona Merah.
Tulisan pertama saya di Kompasiana adalah sebuah cerpen yang berjudul " Sang Bupati ". Alhamdulillah cerpen pertama itu hanya dibaca 28 kompasianer atau ghost reader. Miskinnya pembaca melirik tulisan pertama itu tak mematisurikan semangat saya untuk menulis dan menulis di Kompasiana. Bagi saya menulis adalah bagian dari usaha untuk berbagi.
Tulisan saya baru dibaca banyak kompasianer atau ghost reader saat mempostkan tulisan dikanal televisi dengan Judul " Juri Yang Mengimpotensikan Academy Dangdut Di Indosiar " yang dibaca 2181 dengan 6 penilaian.
Tulisan saya dimedia massa BangkaBelitung yang pernah saya postkan ke Kompasiana
Dan bila dibandingkan dengan para kompasianer top yang telah memilikio branch tersendiri di kompasiana, saya memang belum ada apa-apanya mareka. Selama setahun menulis HL yang menjadi simbol kemartabatan menulis diKompasiana pun baru dua tulisan. Kalau article Trending mungkin bisa diatas lima. Dalam kanal hilgligh pun tulisan saya sering nongkrong.
Tapi bagi saya soal apakah tulisan itu masuk kategori HL, Trending Article bukanlah sesuatu yang memusingkan dan menjerakan saya dalam menulis. Bukankah dalam menulis kita ingin berbagi?
Yang amat membanggakan saya adalah ketika dua cerpen saya yang berjudul " Koh Asun Jadi Pemimpin dan Ada Yang Mengetuk Pintu Rumah Kami Sepanjang malam " dibaca 100 orang. Bahkan cerpen " Ada Yang Mengetuk Pintu Rumah Kami Sepanjang Malam " yang dibaca 103 orang direspon mantan Wamen Bidang Kebudayaan Ibu Wiendu Nuryanti lewat akun twitternya. Dan saya sungguh bahagia saat itu.
Sebagai kompasianer saya sungguh merindukan ketika tulisan saya tentang korupsi di respon admin Kompasiana. Setidaknya selama setahun melayari kompasiana, beberapa tulisan saya tentang korupsi kurang mendapat tempat. Apakah memang tulisan yang saya postkan tak layak? Atau kompasianer yang kurang peduli dengan pemberantasan korupsi di media jurnalisme ini?
Dua tulisan saya yang berjudul " KPK Dipandang Sebelah Mata Oleh Kepala Daerah Pemekaran " hanya dibaca 183 orang tanpa komentar dan penilaian. Sementara artikel " ompongnya KPk dan Kejagung Dalam Kasus Alkes di RSUD Bangka Selatan hanya dilirik 159 orang dengan dua komentar. Bahkan dalam bentuk cerpen pun saya pernah menulis tentang aksi money politik dalam sebuah pesta demokrasi. Dua cerpen tentang korupsi pernah saya postingka dikanal cerpen dengan judul RP.50.000 dan Sang Koruptor.
![1420383843622798983](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1420383843622798983.jpg?t=o&v=300?t=o&v=770)
Saya sebagai kompasianer sungguh mengimpikan suatu hari tulisan tentang korupsi menjadi HL dan ternding Article di kompasiana. Bukankah sebagai bangsa kita telah mengikrarkan diri untuk menjadikan korupsi dan koruptor sebagai musuh bersama yang harus enyah dari bumi tercinta ini?