Guruku Sayang, Gurukuku Malang Nyata Dalam Sistem Demokrasi.
Oleh: Mimi Husni (Aktivis Muslimah)
Dari berbagai sudut pandang, termasuk sudut pandang agama, mengajar merupakan profesi yang mulia. Namun, saat ini, kemuliaan seorang guru berbanding terbalik dengan takdir hidupnya. Kondisi kehidupan banyak guru yang jauh dari kata sejahtera. Khususnya, tenaga pengajar atau guru honorer yang gajinya tidak sesuai dengan pekerjaan yang dilakukannya.
persoalan guru yang meluas di negeri ini hingga guru di kriminalisasi membuat masalah pendidikan menjadi lebih kompleks. Banyaknya kasus guru yang dilaporkan ke polisi atas tuduhan melakukan kekerasan terhadap siswanya mencoreng nama baik mereka. Padahal, mereka hanya ingin menggunakan kedisiplinan siswa sebagai cara untuk melaksanakan tugas mengajar mereka. Semua ini cukup menyedihkan karena guru adalah orang yang memberikan pengetahuan yang berdampak signifikan terhadap standar pendidikan suatu negeri.
Pemimpin pendidikan adalah guru. Generasi-generasi bangsa ini lahir dari rahim mereka. Apa jadinya generasi ini jika kondisi guru jauh dari kata sejahtera?
Dulu guru sangat dijunjung tinggi karena mengharapkan manfaat dari ilmu yang diberikan. Namun, kini tampaknya kehormatan dan hak istimewa seorang guru perlahan pudar. Banyak sekali kasus guru yang dikriminalisasi, terutama oleh orang tua yang merasa guru tersebut melakukan kekerasan terhadap anak dengan cara menghukumnya. Karena tuntutan hak asasi manusia yang diemban saat ini, maka banyak pendidik yang memilih untuk mengabaikan perilaku siswanya. Kesombongan orang tua yang membela anak tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan guru menjadi faktor lainnya.
Misalnya, akhir-akhir ini media massa menyoroti kasus Supriyani, seorang guru di Konawe, Sulawesi Tenggara. Supriyani ditahan atas dugaan penganiayaan terhadap siswa kelas satu SD yang ternyata adalah anak seorang polisi. Supriyani membantah keras, tetapi kasusnya masih dalam proses. Guru honorer kawakan berusia 16 tahun itu menjelaskan bahwa kepala desa meminta agar dirinya memberikan uang ganti rugi sebesar Rp 50 juta kepada orang tua siswa yang mengaku anaknya telah dianiaya. Sebab, kepala desa mengklaim jika uang ganti rugi kurang dari jumlah tersebut, orang tua siswa tidak akan menerimanya. Namun, Supriyani tidak mengindahkan, karena merasa dirinya tidak bersalah, mendapatkan uang sebanyak itu dari mana sedangkan gajinya hanya Rp 300 ribu perbulan (dengan bayaran setiap 3 bulan sekali), (BBC news Indonesia, 1/11/2024).
Padahal, kasus seperti yang dialami Guru Supriyani sudah terjadi sejak lama. Lihat saja kasus Guru Sambudi di Sidoarjo yang mencubit muridnya yang tidak mau salat berjamaah pada tahun 2016. Tahun 2023, kembali terjadi kasus Guru Zaharman di Bengkulu yang harus kehilangan penglihatannya, setelah dibentak-bentak dan di katapel oleh orang tua yang marah karena anaknya didisiplinkan karena merokok. Masih banyak lagi kasus guru yang dikriminalisasi, baik yang sudah tidak pernah muncul di media maupun yang sudah diketahui publik. Memang, nasib guruku sayang guruku malang nyata di sistem saat ini. Tidak bisa dipungkiri lagi, selain tidak mendapatkan kesejahteraan, perlindungan hukum juga semakin pupus.
Dalam sistem saat ini, guru sering kali menghadapi kesulitan dan perselisihan saat mengajar siswanya. Alasannya, sejumlah inisiatif pendidikan sering disalahpahami oleh orang tua dan pemangku kepentingan lainnya sebagai tindakan kekerasan terhadap anak-anak mereka.
Pada kenyataannya, kolaborasi antara orang tua dan guru dalam menjalankan tanggung jawab masing-masing merupakan elemen pendidikan yang paling penting. Namun, pada kenyataannya, orang tua mendorong kebebasan dan kebrutalan anak-anak mereka. Agar murid-muridnya percaya bahwa guru mereka melanggar hak-hak mereka. Hal ini terjadi karena Undang-Undang Perlindungan Anak, yang membuat guru rentan terhadap tuntutan pidana sehingga dengan mudah didiskriminalisasi.
Ini menjadi bukti bahwa kebijakan pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Untuk menghasilkan berbagai interpretasi. Kita dapat melihat bahwa sistem kapitalis saat ini memiliki kesenjangan dan ketimpangan makna dan tujuan pendidikan antara orang tua, guru, masyarakat, dan negara. sehingga setiap orang memandang tujuan pendidikan anak secara berbeda. dimana orang tua menginginkan anak-anaknya berprestasi di sekolah dan mendapatkan pekerjaan yang baik. Namun, pendidik memandang pekerjaannya hanya sebagai profesi dan bukan kewajiban. Fakta bahwa negara memandang pendidikan sebagai sektor bisnis yang sangat subur juga sama menyedihkannya.