Mohon tunggu...
Hilmi Syafiq
Hilmi Syafiq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sarjana Ilmu Politik di Universitas Indonesia

Berminat pada dinamika politik luar negeri, teknologi, transportasi umum, dan lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemutakhiran Kuota Afirmasi Perempuan di DPR Untuk Meningkatkan Women Rights

4 Desember 2024   22:50 Diperbarui: 4 Desember 2024   23:13 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Percaturan politik di dunia saat ini terlalu didominasi oleh pria, tak jarang dalam dominasi tersebut dibarengi dengan tradisi patriarki yang sedemikian kuat. Hal demikian kiranya menyulitkan perempuan dalam mengadvokasikan hak-haknya. Oleh sebab, jangankan untuk mengadvokasikan haknya, representasi kelompoknya saja sulit untuk direalisasikan dengan mumpuni. Apalah arti demokrasi jika kelompok mayoritas terlalu menguasai tanpa hadirnya kelompok lain yang mengimbangi, kondisi demikian lebih tepat jika disebut mayoritarianisme. Padahal jika menilik dari sejarah, sebenarnya banyak pemimpin perempuan yang juga kompeten dalam memimpin, hanya saja bias sejarah memang lebih menguntungkan pihak patriarki dan mengarahkan perempuan pada pekerjaan domestik semata.

Representasi parlemen adalah hal yang perlu diperhatikan dalam menjawab "Apa yang harus dikerjakan untuk meningkatkan Women Rights".  Perlu diketahui bahwa kondisi representasi politik perempuan di Indonesia, yang hingga kini secara nominal di Dewan Perwakilan Rakyat berada dalam kondisi yang cenderung rendah. Jika menilik pada Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dijelaskan beberapa ayat yang menjelaskan tentang kewajiban untuk pemenuhan keterwakilan perempuan di dalam lembaga dan pencalonan legislatif. Kriteria dalam pemenuhan keterwakilan perempuan tersebut adalah komposisi keanggotaan atau pencalonan perempuan yang sekurang-kurangnya sebesar 30 persen. Penentuan nominal 30 persen sebenarnya bukan tanpa alasan, hal demikian dilandasi oleh teori massa kritis. Teori tersebut menghubungkan antara jumlah perempuan di lembaga legislatif dengan dampak terhadap kebijakan yang menguntungkan perempuan. 

Teori Massa Kritis menyatakan bahwa perempuan baru akan memiliki dampak signifikan dalam politik setelah jumlah mereka mencapai titik kritis tertentu, di mana mereka bisa bekerja sama dan mempengaruhi laki-laki untuk menyetujui kebijakan yang berpihak pada perempuan. Titik kritis yang dimaksud berada pada nominal sekurang-kurangnya 30 persen dari total keterwakilan yang ada. Namun, temuan lainnya mengidentifikasi bahwa peningkatan jumlah perempuan tidak selalu diikuti dengan peningkatan kebijakan yang berpihak pada perempuan. Hal demikian disebabkan oleh kondisi keterwakilan yang cenderung deskriptif. 

Adapun pendapat dari Anne Phillips dalam dalam bukunya yang berjudul dalam The Politics of Presence menjelaskan kuota gender sebagai salah satu mekanisme untuk meningkatkan representasi perempuan dalam lembaga politik. Buku ini mengulas bagaimana beberapa negara Nordik, seperti Swedia, Norwegia, dan Finlandia, berhasil meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen melalui penerapan kuota gender. Partai-partai politik di negara-negara tersebut mengambil langkah untuk menetapkan kuota bagi perempuan dalam pencalonan anggota parlemen. Hasilnya sangat signifikan, dengan proporsi perempuan di parlemen mencapai 38% di Swedia, 34% di Norwegia dan Finlandia pada tahun 1990. Sebagai perbandingan, negara-negara seperti Jerman hanya memiliki 15% keterwakilan perempuan, dan Inggris serta Prancis bahkan lebih rendah, masing-masing hanya 6%. Phillips menyimpulkan bahwa meskipun kuota gender telah terbukti berhasil dalam meningkatkan jumlah perempuan yang terpilih, hanya mengandalkan kuota saja tidak cukup. Diperlukan juga akuntabilitas yang kuat dari para wakil perempuan tersebut untuk benar-benar memperjuangkan kepentingan perempuan yang mereka wakili.

Mempertimbangkan penerapan kuota gender di negara-negara Nordik yang cukup sukses dalam meningkatkan representasi perempuan di parlemen, lantas perlu kiranya kita melihat kondisi perwakilan perempuan di Indonesia. Undang-Undang No.7 Tahun 2017 sendiri memang sudah mendorong adanya representasi perempuan yang lebih baik, tetapi menurut penulis perlu ada pemutakhiran dalam konstitusi untuk menyokong perwakilan perempuan yang lebih substantif. 

Kondisi perwakilan perempuan di DPR belum dapat dikatakan mencukupi kriteria teori massa kritis. Misalnya menurut data dari  International Parliamentary Union, DPR periode 2024-2029, komposisi perwakilan perempuan hanyalah 21 persen atau 122 kursi dari keseluruhan 580 kursi yang tersedia. Jika merujuk kembali ke data International Parliamentary Union, Indonesia menempati peringkat 113. Berbanding terbalik dengan Rwanda yang cenderung otoriter, tetapi sekurang-kurangnya dapat memenuhi inklusivitas dalam parlemennya, yakni sebesar 63,8 persen dan dalam data IPU menempati peringkat pertama. Kemudian sebagai perbandingan kondisi demokrasi, menurut data dari Freedom House, Indonesia mendapatkan skor 57 dari 100 dan predikat Bebas Sebagian, sedangkan Rwanda mendapatkan skor 23 dari 100 dan predikat Tidak Bebas. Hal demikian tentu menjadi bahan introspeksi kita bersama, bahwa demokrasi di Indonesia "kalah" dengan otoritarianisme Rwanda yang justru dapat membawa inklusivitas dalam dunia perpolitikannya. 

Lantas, sangat menarik jika menelusuri "resep" keterwakilan perempuan di Rwanda bisa sedemikian besar. Mundur ke tahun 2003, ketika konstitusi tahun 2003 disahkan, terdapat beberapa pasal yang memang fokus pada kesetaraan gender. Dalam konteks politik, konstitusi 2003 sendiri mewajibkan untuk memberikan kuota 30 persen bagi perempuan di semua badan pembuat keputusan serta adanya kuota khusus untuk perempuan di Parlemen. Hal demikian menjadikan Rwanda sebagai salah satu negara Afrika yang paling maju dalam mengeksekusi kebijakan kesetaraan gender.

Menilik implementasi perwakilan perempuan di Rwanda melalui konstitusi dan cukup sukses kiranya perlu dipertimbangkan untuk diterapkan di Indonesia. Hal demikian tidak lepas dari kondisi perwakilan politik perempuan di DPR yang tidak memenuhi kriteria massa kritis. Dalam upaya mencukupi kriteria tersebut, kiranya perlu dilakukan pemutakhiran dalam Undang-Undang secara menyeluruh. Pertama, perlu adanya penguatan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah yang sekarang nampak tidak "berguna". Kedua, dengan mempertimbangkan kesuksesan Rwanda mengejawantahkan kesetaraan gender melalui konstitusi, maka penulis berpendapat bahwa perlu adanya alokasi kuota khusus perempuan di DPR dan di DPD, lebih bagus lagi jika diterapkan pada seluruh lembaga negara. Terakhir, implementasi Undang-Undang yang benar-benar ditegakkan, yakni salah satunya adalah dengan adanya sanksi tegas bagi partai politik dan lembaga pemerintahan yang tidak mengimplementasikan kuota khusus untuk perempuan. 

Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa representasi politik perempuan sangat diperlukan dalam mengadvokasikan hak-haknya (Women Rights). Representasi yang dimaksud pun bukan perwakilan yang "asal jadi", tetapi perwakilan yang memenuhi kriteria teori massa kritis dan juga lebih baik lagi jika representasi tersebut substantif. Adapun rekomendasi pemutakhiran konstitusi dari penulis diharapkan dapat meningkatkan representasi politik perempuan di parlemen dan pemerintahan, sehingga menciptakan diskusi yang berimbang ketika pembentukan kebijakan serta eksekusi kebijakan yang berkeadilan dan berorientasi kesetaraan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun