Mohon tunggu...
Maria Sugiharti
Maria Sugiharti Mohon Tunggu... -

Perantau. Pernah jadi pelajar di sebuah Sekolah Pertanian, berebut bis menuju kampus di Indralaya, merangkai mimpi di kebun sawit dan membangun mimpi di kota dingin di utara Jepang. Berkeinginan menjadi petani dengan tanda kutip, meski sekarang berteman dengan berbagai istilah asing di dunia baru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perjalanan Menuju Perubahan

4 Maret 2009   14:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:18 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat hamparan hijau sawah yang membentang, memang menerbitkan banyak sekali harapan. Harapan-harapan untuk sesuatu yang lebih baik, yang diperjuangkan melalui tetesan keringat dan panasnya matahari membakar kulit. Harapan yang diperjuangkan melalui kerja keras yang tak kenal menyerah. Inilah salah satu sawah di kampung halamanku. Sawah yang menjadi saksi bisu sebuah perjalan panjang. Aku masih ingat, masa kecilku ku habiskan dengan bermain di sawah sepulang sekolah, eh...tunggu...bukan bermain. Aku juga turut membantu orang tuaku mengumpulkan kayu kayu kecil untuk di bakar, karena sawah ini merupakan bekas hutan belantara. Ikut membabat rumput rumput bila musim menanam padi segera tiba, membantu membawa makan siang untuk bapak yang sedang mencangkul di sawah. Prosesnya aku ingat, mencangkul, kemudian membajak dengan menggunakan sapi dan sekarang sudah menggunakan traktor. Dan yang paling sering kulakukan adalah membantu menanam padi disawah, yang merupakan pekerjaan khusus para wanita. Dan semua jerih payah itu tidak akan berbekas manakala bulir padi telah menguning siap untuk dituai. Romantisme masa kecil, berkawan lumpur lumpur sawah. Sawah ini merupakan sawah tadah hujan, dengan panen setahun sekali. Bukan tidak kurang usaha pemerintah untuk membuat panen tak lagi sekali setahun. Masih kuingat ketika parit-parit buatan di perdalam, dan mulailah aku mengenal istilah parit sekunder yang merupakan saluran air untuk irigasi. Di bangunnya pintu air dikanal-kanal utama, dan hirup pikuk pembuatan P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air). Tapi apa daya, air pasang dari sungai musi memang tidak menjangkau seluruh areal persawahan. Panen tetap setahun sekali, kemudian musim palawija, meskipun sebagian besar penduduk memilih merantau dan kembali bila musim bersawah tiba. Sejahterakah penduduknya???Cukup, karena belum pernah ada berita kelaparan. Tapi tidak karena masih banyak anak-anak yang tidak bersekolah, masih banyak balita yang tumbuh seperti kurang gizi, masih banyak rumah yang tidak memenuhi standar kesehatan, meskipun ada banyak rumah rumah mewah mulai di bangun, ada banyak handphone-handphone bagus bergentayangan, makin banyak antena parabola yang didirikan, dan makin banyak keanekaragaman lainya. Beberapa tahun ini wacana mengubah areal persawahan menjadi kebun sawit mengumandang. Berkaca pada petani-petani sawit yang sukses, mulai banyak yang tergoda. Keinginan ini sebenarnya merupakan sebuah adopsi yang berjalan secara natural. Kenapa aku katakan demikian??? Petani disini adalah petani yang sangat mudah untuk belajar. Dahulu, sebagian besar rumah berdinding papan, bahkan banyak yang hanya rumbia, begitu juga dengan atapnya. Panen yang hanya setahun sekali memaksa sebagian penduduk untuk merantau mencari tambahan penghasilan sebagai modal membuka sawah. Pada waktu mereka merantau di pabrik pembuatan batu bata, mereka kembali dan membuat batu bata untuk membangun rumah. Pada waktu mereka merantau di peternakan ayam, hasilnya ada banyak usaha ternak ayam di kampungku sekarang. Finalnya, pada saat perkebunan menjadi primadona dan mereka merantau di daerah perkebunan. Sebagian besar penduduk saat ini berniat mengubah sawah sawah menjadi areal perkebunan. Di daerah ladang sudah banyak, tanaman karet disela-sela tanaman padi. Dan sudah mulai banyak pembibitan kelapa sawit. Mereka berniat mengubah nasib, jiwa pekerja yang ada dalam diri mereka memaksa mereka untuk terus berusaha hingga terjadi perubahan. Terkadang ada rasa khawatir, kalau tidak bisa lagi kulihat hamparan sawah disana. Tapi aku lebih khawatir lagi, seandainya penduduk kampungku tetap dalam belenggu kemiskinan dan keterbelakangan, padahal ibu kota propinsi tidak terlalu jauh...yah sebuah kekuatiran yang tersembunyi, yang mungkin makin akan tersembunyi, mengingat, 29 tahun sudah daerah ini dibuka, dan hingga saat ini satu-satunya akses menuju ibukota propinsi hanyalah melalui sungai. Semua memang masih wacana, tapi aku yakin akan segera menjadi nyata. Hal penting yang harus dilakukan segera adalah, supaya petani-petani sawit baru itu memiliki bekal pengetahuan yang cukup untuk memulai sebuah medan perjuangan baru. Tugas siapa???

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun