Mohon tunggu...
Maria Sugiharti
Maria Sugiharti Mohon Tunggu... -

Perantau. Pernah jadi pelajar di sebuah Sekolah Pertanian, berebut bis menuju kampus di Indralaya, merangkai mimpi di kebun sawit dan membangun mimpi di kota dingin di utara Jepang. Berkeinginan menjadi petani dengan tanda kutip, meski sekarang berteman dengan berbagai istilah asing di dunia baru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Petani, Tikus Mati di Lumbung Padi!

28 Januari 2009   10:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:20 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

AKU tidak begitu mempercayai kemampuanku menulis tentang pertanian, apalagi sesuatu yang berbau ilmiah, kuatir ada yang mempertanyan validitas datanya, atau protes karena tidak sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah. Berbekal sebagai anak buruh tani, sekolah menengah di pertanian, kuliah dipertanian, pernah kerja juga disektor pertanian, dan mungkin juga bakal kembali menjadi petani, aku coba untuk memberanikan diri. Apa yang sedang aku tulis adalah sebuah hasil perjalanan.

Aku mengenal istilah Indonesia adalah negara agraris sejak duduk di bangku SD, tidak salah memang, dengan jumlah daratan dan lautan yang begitu luas seharusnya memang sebutan negara agraris saja tidak cukup untuk indonesia. Disebutkan pula pekerjaan sebagian besar penduduk Indonesia adalah petani, tapi adakah yang punya data akurat tentang hal tersebut? Sekarang aku ingin mengeluarkan pendapatku, sebagian besar penduduk Indonesia bukan bertani tetapi BURUH TANI.

Buruh tani bagiku bukan hanya sekedar bekerja pada tuan tanah, tetapi juga berlaku untuk petani yang karena ketidak seimbangan harga sarana produksi pertanian dan hasil pertanian, menyebabkan petani hanya bisa bekerja untuk makan, tanpa ada sisa untuk pendidikan apalagi tabungan di hari tua.
Itulah cerminan petani kita, dengan kondisi tanah yang makin miskin unsur hara tentunya memerlukan pupuk anorganik yang semakin tinggi dosisnya. Harga pupuk yang melambung tinggi (entah kemana hasil saja produksi pupuk dalam negeri) berbanding terbalik dengan harga jual komoditas pertanian yang cenderung menurun, apa yang bisa di nikmati petani?

Pengenalan pertanian berkelanjutan yang menggantikan pertanian subsysten juga aku pikir belum sepenuhnya berhasil. Selama tidak ada kebijakan harga hasil pertanian, ditambah tidak adanya orientasi pemerintah untuk mengembangkan hasil produksi dalam negeri, apapun namanya tetap saja petani Indonesia masih terpuruk.

Pernahkan dengan sungguh-sungguh kita mengetahui bahwa ada satu daerah yang menjual hasil pertanian dengan harga yang sangat murah atau malahan di biarkan membusuk, sementara di daerah lain begitu sulit untuk membeli beras (selain harga yang melambung tinggi) dan kebutuhan pokok lainya. Jika ada yang berminat, silahkan mengunjungi daerah transmigrasi di pedalaman sumatera selatan, dan simpulkan sendiri hasil dari perjalanan tersebut (aku menghabiskan kanak-kanak dan remajaku di daerah tersebut).

Hal yang lucu tapi menyakitkan, kita mengimpor beras dan kedelai. Produk pertanian yang seharusnya jadi unggulan, malah jadi mahal, tikus yang kelaparan di lumbung padi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun