Kasus kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini cukup marak terlebih kasus kekerasan terhadap anak. Menurut World Health Organization (WHO), kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara nyata
ataupun tidak dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat atau perkembangannya, tindakan kekerasan yang diperoleh dari orang yang bertanggungjawab, dipercaya atau berkuasa dalam perlindungan anak tersebut.
Beberapa potensi kekerasan yang kerap terjadi terhadap anak yaitu sebagai berikut:
- Kekerasan Fisik. Kekerasan ini dapat mengakibatkan munculnya rasa sakit secara fisik yang
dialami oleh anak. Contoh tindakan kekerasan fisik ini yaitu ditendang, dipukul dan lain
sebagainya. - Kekerasan Seksual. Kekerasan ini berupa perlakuan yang tidak senonoh, perkataan yang
mengandung unsur pornografi, dan lain sebagainya - Kekerasan Emosional. Kekerasan ini mengakibatkan terjadinya pelambatan perkembangan
emosional anak seperti menakut-nakuti, dan lain sebagainya yang dapat menganggu psikis
anak - Kekerasan Ekonomi. Kekerasan ini berupa memperkerjakan anak untuk mendapatkan
keuntungan oleh orangtua ataupun oranglain. Disebut sebagai kekerasan ekonomi karena
memperkerjakan anak yang belum masuk usia produktif dipaksa untuk bekerja - Penelantaran juga merupakan kekerasan terhadap anak
Kekerasan terhadap anak juga dapat terjadi dengan melibatkan teknologi digital, kekerasan tersebut dikenal dengan sebutan OCSEA (Online, Child, Sexual, Exploitation and Abuse). OCSEA merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap anak yang mengacu pada situasi yang melibatkan teknologi digital dan internet serta dapat terjadi sepenuhnya secara daring ataupun melalui campuran interaksi daring dan tatap muka antara pelaku dan korban anak-anak. Di era digital hari ini menyebabkan tidak sedikit anak di Indonesia yang terjerat dan menjadi sasaran eksploitasi dan kekerasan seksual secara daring.
Anak juga rentan terkena kejahatan online seeprti cyberbullying, sextortion, scam, child groomy, pornografi dan pelecehan seksual secara daring. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) terdapat korban kekerasan terhadap anak pada tahun 2019 sebanyak 12.285 kasus, 2020 sebanyak 12.425 kasus serta 2022 sebanyak 15.972 kasus, terjadi kenaikan yang sangat signifikan dari rentang tahun 2020-2022. Sedangkan data yang tercatat dari rentang Januari - November 2023 terdapat 15.120 kasus. Meskipun terjadi penurunan dari tahun sebelumnya, namun tetap berada kondisi yang darurat dan sangat memprihatinkan. Seperti kita ketahui bahwasannya anak-anak dan remaja hari ini merupakan generasi muda yang akan mewarnai peradaban kedepannya.
Kekerasan terhadap anak akan memberikan dampak negatif pada diri anak itu sendiri ataupun lingkungan. Kasus kekerasan ini terjadi disebabkan oleh beberapa beberapa faktor lingkungan seperti lingkungan keluarga yang memberikan pengaruh 35% bagi anak, lingkungan sekolah 30%, dan sosial 23%. Terlihat bahwa peran keluarga memiliki pengaruh besar bagi anak, terutama peran kedua orangtua, perlunya parenting dari orangtua terlebih di era informasi yang begitu cepat hari ini. Sebelum anak terjun ke lingkungan sosial mereka yaitu memasuki fase sekolah, mengenal lingkungan baru setelah lingkungan keluarga. Anak sangat perlu memiliki fondasi yang kuat terlebih fondasi bagaimana anak untuk memilah dan memilih mana sesuatu yang harus ia ikuti dan ditolak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H