Di bangku sudut stasiun Palmerah. Â Tergeletak rebah tak ada yang menjamah. Â Seseorang telah meninggalkannya dengan sengaja atau mungkin sekedar terlupa. Â Sekotak nasi itu masih utuh. Â Dengan ikatan karet gelang masih belum tersentuh. Â Sepasang mata menatap gemetar. Â Kotak itu bisa menyelamatkan tubuhnya yang nyaris terkapar. Â Seorang gelandangan tua dua hari menahan lapar.
Sepasang mata lain memandang penuh harap. Â Mata coklat yang tinggal segaris gelap. Â Hanya saja dia harus menunggu sejenak. Â Kastanya ditakdirkan serendah semak semak. Â Dia tidak takut berebut. Â Tapi itu sama saja dengan mendatangkan lecutan pecut. Â Dia hanya seekor anjing penakut.
Mereka berdua tidak menyadari, ada sepasang mata licik mengintip, dari balik peron yang terjepit. Â Menunggu kesempatan dalam sempit. Â Banyak temannya bisa membantu mencuri. Kelihaian mereka yang luar biasa sudah cukup teruji. Â Kawanan tikus got dengan sedikit nyali tapi dipenuhi dengki.
Semuanya saling menanti. Â Saling curiga saling mengiri. Â Waspada, tak mau sedikitpun terdahului.
Serentak semuanya tersentak mengundurkan diri. Â Sepasang tangan bersih rapi. Â Berwajah tampan dan berdasi. Â Ulurkan tangan secepat sulutan api. Â Menyambar kotak nasi sembari tersenyum geli.
Sekotak nasi yang tertinggal. Â Mengenyangkan perut perut mahal. Â Sungguh sebuah dunia tak masuk akal....
Jakarta, 15 April 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H