Menyisihkan sekelumit kisah yang diceritakan oleh sepasang terompah usang. Â Bagaimana perjalanannya banyak digunakan untuk mencari mimpi.Â
Mimpi yang ditumbuhkan oleh hujan. Â Berdaun dan berbunga di trotoar jalanan. Â Menjejak lantai kotor bus kota dan gerbong gerbong kereta. Menjejalkan diri dalam sesaknya rongga dada ibukota. Â Ikut terbatuk jika nafas kota tersedak. Â Ikut tertawa ketika humor kota meledak ledak.
Mimpi itu terus mengalir di danau dan gorong gorong. Â Berdesakan menuju pintu air yang mampat karena cuaca sedang berat. Â Terlepas dengan lugas waktu banjir mimpi yang lain mendorong dari belakang. Â Tersadar berada di halaman pagar sebuah istana. Â Hanya sekedar untuk mengaguminya. Â Lalu terloncat ke tempat lain setelah tertendang secara tidak sengaja oleh angin yang berlagak pongah menguasai masa.
Membuka kotak tua berisi semir sepatu. Â Mimpi itu tersudut di terminal kusut. Â Memandangi setiap ujung sepatu yang mulai berkerak. Â Namun tetap tak peduli dan terus bergerak. Â Meninggalkannya penuh harap dalam kedipan mata sembab. Â Menjalani berbuka dengan segelas kecil air mineral. Â Diberikan oleh mimpi lain yang baik hati.
Mimpi ini adalah mimpi yang terkalahkan. Oleh kerumunan waktu yang tak mau tahu.
Jakarta, 14 Juni 2017