Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menyesap Kenangan

11 Juni 2017   06:43 Diperbarui: 11 Juni 2017   11:26 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semua yang terpikirkan oleh Darma menghilang seperti uap air ketika menginjakkan kaki di pelataran rumah tua ini.  Matanya berkaca kaca.  Dulu dia menghabiskan masa kecilnya di sini.  Masa masa dimana dia ditinggal  dalam keadaaan masih bayi di teras rumah ini.  Oleh seseorang yang mungkin ibunya yang terlalu muda.  Atau mungkin ayahnya yang tak mau bertanggung jawab.  Atau mungkin orang lain lagi yang kasihan.  Entahlah.  Yang pasti itu adalah masa hidup mati karena menangispun saat itu dia baru belajar.

Darma menyesap udara yang keluar dari dalam rumah.  Selalu terasa seperti ini.  Bau rempah dan tembakau.  Bau yang sangat menyenangkan baginya.  Hampir seperti morfin. Menenangkan.  Membawa serpih bahagia yang tak bisa dia jelaskan bagaimana bentuknya.  Mungkin seperti sepotong rindu yang utuh.  Tak terbagi bagi.  Kepada orang tua yang sungguh sungguh menyayanginya seperti anak sendiri.  Membesarkannya bersama duabelas anak lainnya.  Menjadi saudara lebih dari kandung. 

Dia ingat sesuatu.  Betapa dulu mereka berduabelas beramai ramai membersihkan rumah besar ini dari depan hingga belakang.  Mengusap setiap dinding batanya dengan kasih.  Mengepel lantai keramiknya sepenuh jiwa.  Bersama sama bermain prosotan di lantai yang licin setelah disiram air berember ember.  Darma meletakkan senyumnya di ruang depan.  Menatanya bersama beberapa patung kecil porselin yang masih tersusun di dalam buffet kaca yang sudah suram.

Ah ruangan ini.  Ruang tengah yang sangat besar.  Tempat mereka berkumpul saat malam.  Mengerjakan pekerjaan rumah atau sekedar bercanda.  Mereka semua bertebaran di lantai yang dialasi dengan karpet tebal.  Buku buku berhamburan seperti hujan.  Suara suara berdengung berputar putar seperti lebah yang tersesat.  Sementara kedua orang yang mereka panggil ayah dan ibu tersenyum di kursi mereka di pojokan.  Bahagia.

Langkah kaki Darma sampai di ruang berikutnya.  Meja besar dan panjang itu masih di sana.  Memperlihatkan kegaduhan saat makan pagi dan malam.  Denting sendok yang beradu terlalu keras dengan piring, membuat ibu meletakkan telunjuk di bibir memperingatkan.  Sambil tersenyum maklum.  Brokoli rebus yang menjadi hidangan tak pernah tak ada, seringkali melompat ke sudut ruangan.  Dilempar oleh beberapa saudaranya yang memang tak bisa memakannya.  Berharap brokoli itu ditemukan tikus terlebih dahulu dan tak ditemukan ibu saat berbenah setelah makan.  Karena ibu akan menggeleng gelengkan kepala sambil memandang berkeliling.  Berhenti di beberapa wajah yang berusaha menampakan diri tak berdosa.  Tetap tersenyum.  Tetap bahagia. 

Ah ibu.  Darma mencegah airmatanya jatuh.  Kenangan ini masih ingin dia sesap sedalam dalamnya sampai nanti dia berhak untuk menangis sesenggukan.

Ini kamar tidurnya.  Bersama tiga orang saudara laki lakinya.  Tempat tidur susun yang ajaib.  Karena bagian atas jarang ditiduri.  Mereka memilih berdesakan di ranjang bagian bawah.  Menunggu ayah dan ibu memasuki kamar.  Mencium kening mereka satu per satu sambil mengucapkan selamat malam.  Lalu keluar sambil mematikan lampu. Masih lekat tercetak di benak Darma senyum bahagia kedua orang itu sebelum gelap membawanya pergi.

Kaki Darma sampai pada tempat favoritnya.  Dapur seukuran lima kali dapur biasa.  Disinilah dia sering menghabiskan waktu.  Membantu ibu mengiris iris sesuatu. Bawang, kentang, atau apa saja yang bisa diiris.  Darma selalu ingat.  Ibu memeriksa hasil irisannya yang belepotan tapi mengatakan “ah kamu berbakat memasak”.  Darma juga selalu ingat.  Ketika ibu selalu menoleh dan mengatakan hati hati saat memegang pisau sampai dia mengiris sedikit jarinya dan menjerit kesakitan melihat darah yang hanya menetes kecil.  Ibunya datang memeluk sehangat perapian.  Membersihkan jarinya dengan alkohol secermat perawat rumah sakit berkelas.  Lalu mengikatkan plester dengan hati hati dan mengatakan “tidak apa apa jagoan

Darma menghentikan langkah.  Pelataran belakang rumah juga mengikat kenangannya begitu kuat.  Seperti tali kapal besar yang sedang bersandar di pelabuhan.  Dilihatnya rumput rumput meninggi.  Pohon rambutan yang dulu rajin berbuah, sekarang terlihat bungkuk dan renta.  Terlalu banyak benalu melilit tubuh tuanya.  Darma seolah masih bisa melihat dia sedang berada di cabang terendah pohon itu.  Memetik beberapa buahnya yang merah tua.  Lalu melemparkan tubuhnya untuk turun ke dalam dekapan ayah yang setia menunggunya di bawa.

Ah ayah.  Sosok itu selalu ada dalam sudut kenangan tersendiri.  Laki laki yang tak pernah berhenti mengajarkan mereka bagaimana nantinya harus menghadapi hidup yang sebenarnya di luar.  Sosok yang tidak pernah memaksanya untuk ke gereja pada minggu pagi karena dia lebih suka mengaji dengan anak anak di kampung.  Sosok yang bahkan mengundang guru ngaji ke rumah dan mengajarkan menulis Hijaiyah kepada delapan anak anaknya. Sosok yang esok harinya mengantar dua anaknya yang lain pergi ke vihara sebelum bersama ibu pergi ke gereja di sudut kota dengan dua anak lainnya lagi.

Darma sampai pada tujuannya.  Sepasang makam berdampingan di belakang rumah.  Makam kedua orang yang dipanggilnya ayah dan ibu.  Inilah saat dia menghabiskan kepingan kenangan yang tertulis sangat manis dengan meneteskan airmata.  Membasuh nisan kedua makam dengan rasa terimakasih tak terhingga.  Sangat bersyukur Tuhan bersedia menciptakan kedua orang yang bagai malaikat bagi keduabelas anak anak pungutnya.  Darma sudah 60 tahun lebih sekarang.  Namun rasanya kenangan bersama dua orang yang tertulis di nisan makam ini tidak pernah lekang.  Makam bertuliskan Bram dan Marrie Van Gottfried.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun