Bapak, ibu...silahkan mampir, warung kami sudah buka. Â Menunya sangat biasa. Â Hanya nasi, tempe, tahu dan telor dadar saja. Â Kami menggorengnya dengan minyak kelapa, bukan margarine buatan Amerika. Â Kami memasak menggunakan tungku bara, bukan kompor listrik buatan Singapura. Â Kami mengaduk kuah di kuali, bukan panci buatan Itali.
Suara menggeletar sukma seorang lelaki tua, membuka pagi di warungnya yang sederhana.Â
Bapak, ibu...mohon permisi,  anak kami hendak berangkat sekolah.  Ijinkan kami mengantarnya hingga depan rumah.  Hari ini pelajarannya adalah sejarah.  Majapahit, Sriwijaya, Nusantara, adalah menu yang dibuka oleh para guru, bukan Aztec, Inca atau kerajaan di Peru.  Semangat dan kegagahan Tjut Nya’ Dien, Diponegoro dan Untung Surapati, adalah perlawanan pedang dan hati bangsa ini, bukan kisah heroik Roosevelt, Churcill atau Mussolini.
Lelaki tua itu membusungkan dada sambil mengusap kepala anaknya penuh harapan dan suka cita.
Bapak, ibu...liburan besar nanti, kami sekeluarga mendapatkan hadiah pesiar dari pelanggan kaya raya kami. Â Kami berencana pergi ke danau Toba, padahal kami diberikan pilihan untuk pergi ke danau Geneva. Â Kami lebih suka menikmati seperti apa kaldera dari gunung api purba. Â Kami akan lanjutkan pergi ke Puncak Jaya, padahal kami diberikan arahan untuk pergi ke Alaska. Â Kami lebih terharu jika bisa menyentuh dinginnya salju Papua.Â
Setitik embun beku melompat bangga dari mata lelaki tua dari Indonesia.
Jakarta, 15 April 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H