Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keadilan

1 Mei 2017   17:33 Diperbarui: 1 Mei 2017   17:56 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah sudut desa yang anggun oleh ketenangan dan ketenteraman, pagi itu terlihat muram.  Warung kopi dan jajanan yang biasanya terbuka lebar dengan asap terkepul dari kayu bakar yang setengah basah tersiram embun, sekarang menutupi tubuhnya rapat-rapat.  Seakan-akan enggan kulitnya yang kelabu terbakar matahari yang sebenarnya selalu ramah.  Sapi dan bajak yang biasanya tak henti hilir mudik saling menyapa, kini lebih senang meringkuk dalam keterasingan masing-masing.  Menikmati saat-saat terakhir kebersamaan mereka sebagai budak manusia.

Perubahan sikap itu mulai timbul ketika mereka menerima kabar bisikan dari terompah yang hanyut di kali Mayung kemarin.  Bahwa esok hari akan datang rombongan tuan-tuan dari kota yang hendak mengukur setiap pori-pori tanah desa itu sebagai lahan pembuatan lapangan permainan khusus tuan-tuan Dasi.

Sebelumnya penghuni desa itu memang sudah diberitahu melalui surat perintah, bahwa jagung dan padi, berikut sawah dan tegalan, hendak ditukar dengan segerobak permata dan masih ditambah lagi dengan bonus beberapa keping intimidasi.

Tetapi mereka terlalu bahagia untuk mengacuhkan perintah yang sama sekali tidak bisa dimengerti oleh keluguan mereka.  Sekarang, kebahagiaan itu rasa-rasanya sudah muntup-muntup di ujung hidung, menunggu saat keluar dengan paksa.

Ternyata di tengah keputusasaan yang mencengkeram urat nadi desa, masih ada cangkul tua yang berlari-lari mengelilingi sawah dan tegalan untuk bercanda dengan air yang mengikutinya dari belakang.  Seolah tidak lagi memperdulikan pergulatan antara kesewenangan dan ketidakmengertian yang begitu kentara menghiasi hari itu.  Dia hanya ingin menikmati keindahan watak sederhana, tanpa mau mendengar segala macam tipu menipu politik, tukar menukar kursi kekuasaan, atau bahkan pembantaian massal ide-ide yang dicap provokatif.   Kesetiaan pada tradisi merupakan prinsip hidupnya yang tidak bisa ditawar lagi.  Meskipun disana-sini bermunculan golongan yang merasa dikecewakan dan lalu berusaha mendobrak nilai-nilai tradisi yang dianggap buta terhadap gelombang kemapanan yang sebetulnya sering njomplang ke kanan kiri.  Konsekuensinya, terjadi keterikatan untuk memihak, lantas menimbulkan konflik berkepanjangan yang tidak akan pernah berhenti kecuali nurani ikut turun tangan.

Sementara itu rombongan tuan-tuan Dasi dari kota sudah tiba.  Mereka mengelilingi segala penjuru desa untuk melihat-lihat di lokasi mana nantnya ini didirikan, itu dibangun dan ini itu dirobohkan.

Kereta yang mereka tumpangi berderak pongah saat melewati jalanan berbatu.  Berputar-putar menghabiskan waktu, untuk mengejek kebodohan yang jelas terpampang di hadapan mereka.  Tetapi rombongan ini terkejut dan kemudian berhenti dengan benak penuh tanya ketika melihat masih ada penghuni desa itu yang bekerja di sawah.

Pimpinan rombongan segera turun dari kereta untuk memastikan sebuah jawaban.  Dia menghampiri cangkul tua yang sedang sibuk itu.  Tubuhnya yang bergaris-garis mewah terlihat begitu meyakinkan saat berhadapan dengan si cangkul yang berwarna uzur.

“Selamat pagi, wahai cangkul yang terhormat”

Dengan lagak menyebalkan sang dasi menyapa

“Selamat pagi tuan.  Angin apakah yang membawa tuan tega beramah-ramah dengan saya?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun