Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Hari Sudah Larut

18 April 2017   22:52 Diperbarui: 18 April 2017   22:56 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Daganganku belum habis.  Aku berjualan es puter.  Tapi ini sedang musim hujan.  Esku sama sekali tak bisa muter.”

“Daganganku masih utuh.  Aku menjual cilok.  Tapi ini sedang musim liburan.  Pelangganku banyak yang piknik. Dari tadi cilokku mendingin.”

Hari sudah larut.  Ketika orang orang kecil berhati besar menghela sedikit nafasnya.  Udara yang berkeliaran di sekitarnya sungguh bersyukur.  Helaan nafas para pejuang hidup itu memurnikan panasnya kota.  Mendinginkan beberapa jenak kerusuhan dalam jiwa.

Sementara senja berlarian dikejar malam.  Membawa sedikitnya lelah yang bermagma mengikuti gerobak mereka.  Menghitung setiap lorong kosong yang dilalui.  Menjadi detik detik penuh perjuangan diri.  Ketika berjumpa sekerlip terang lampu jalanan.  Lelah itu sebentar mereka sandarkan.

Hari sudah larut.  Mereka sampai di penghujung jalan dekat rumah.  Mempersiapkan senyuman paling sabar.  Untuk anak anaknya yang berlarian keluar.

Yang memahat mulut mereka, malah senyum penuh keikhlasan.

Jakarta, 18 April 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun