Semakin dirasakan, semakin Prolet terjungkal. Â Motor tuanya remuk dilibas kebrutalan. Â Itu bukan sekedar benda bernama motor. Â Sejarahnya terprasasti di situ. Â Bekas keringatnya bahkan masih melumasi rantainya yang sudah kendur. Â Prolet berani mengatakan bahwa perjuangannya membeli motor tua itu setara dengan perjuangan timnas sepakbola Indonesia. Â Masih sebatas keinginan. Â Seringkali kandas. Â Lalu dia mendapatkan rejeki nomplok bonus dari kantor. Â Jadilah motor bekas itu jadi miliknya. Â Sayangnya ini tidak diikuti oleh nasib timnas. Â Masih juga kandas. Â Alamak!
Ini karma! Pikir prolet tragis. Â Dia membandingkan motornya dengan timnas. Â Akibatnya ya begini. Â Motornya babak belur di hajar para penonton fanatik sepakbola. Â Mungkin mereka iri hati. Â Motor seburuk dan setua ini bisa memenuhi keinginan Prolet. Â Sementara keinginan timnas yang diamini ratusan juta rakyat, cuma sekedar mampir di warung kopi.
Tapi ada yang aneh, masa sih dari seperempat milyar penduduk negeri ini tidak ada 22 orang yang bisa bermain sepakbola dengan baik? Â Saking gemasnya, Prolet pernah bercita cita menjadi orang kaya raya. Â Biar dia bisa mendatangi seluruh pelosok Indonesia.Â
Mengintip di sawah sawah kering habis panen yang biasanya langsung berubah fungsi menjadi lapangan sepakbola, memperhatikan anak anak kecil berbakat menendang bola plastik di halaman mesjid, melihat langsung pertandingan antar kampung, menikmati perkelahian saat lomba tujuh belasan dan bla bla seterusnya. Â Intinya dia akan menggunakan segala kekayaannya untuk mendapatkan 22 anak anak hebat Indonesia. Â Biarlah dia dianggap aneh dan tak terencana. Â Yang penting Indonesia bisa jadi juara.
----
Prolet memandangi lagi motor tuanya. Â Ada sedu sedan yang hendak menaiki tenggorokannya. Â Namun dia membatalkan niatnya untuk terisak. Â Cengeng! Timnas kalah terus saja dia tidak sampai menangis. Â Cuma bersedih sebentar dengan cara memboikot tidak menonton tipi. Â Meskipun sebentar sebentar kemudian dia melanggar dengan mengintip intip saat sedang tayang Anandi.
Masih bisakah motor ini diperbaiki? Â Tingkat keparahannya mungkin lebih tinggi dibanding rusaknya Bus Trans Jakarta yang dulu sempat jadi headline di mana mana. Â Prolet sekali lagi mengelilingi jenazah motor tuanya. Â Dia sengaja tidak menyebut bangkai. Â Sebutan ini paling tidak sedikit menghibur kepiluan dirinya.
Terlalu hancur! Â Harus dibangun kembali perlahan lahan. Â Onderdil yang rusak diganti. Â Fisiknya yang penyok penyok secara bertahap diperbaiki. Â Atau pilihan lainnya. Â Lupakan! Ikhlaskan! Â Cari gantinya lalu berusahalah mencintainya. Â Prolet merasa seperti Shakespeare kalau sedang berkalimat begini.
Sama persis timnas sepakbola Indonesia. Â Pilihannya sama. Â Cuma dua. Â Perbaiki mulai dari akar sebelum kebusukan sistemnya mengakar. Â Atau bubarkan! Â Beri kesempatan orang kaya yang mau mengabdi, seperti cita cita Prolet, mencari bakat bakat hebat di seluruh daerah. Â Bangun timnas Indonesia yang sanggup mengukir sejarah. Â Bukan pelamun yang pasrah selalu atas kalah.
----
Prolet memutuskan memumikan saja jenazah motor tuanya. Â Dia ingin kenangannya masih bisa dilihat, bukan dikenang. Â Sudah saatnya dia berjuang lagi seperti timnas sepakbola. Membulatkan tekad dan keinginan. Â Mengumpulkan uang untuk membeli motor gantinya.