Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Akhir Sang Penyair

1 April 2017   17:34 Diperbarui: 2 April 2017   02:00 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

AKHIR SANG PENYAIR

Tenggelam dalam kerumunan raksasa-raksasa pencakar langit, kaki tua itu terus berjalan.  Menyibak barisan trotoar berdaki dari ujung ke ujung.  Berhenti sejenak untuk sekedar menatap keangkuhan rambu lalu lintas di perempatan, pemilik kaki tua itu terbatuk-batuk diterpa gumpalan-gumpalan asap knalpot kendaraan bermotor.

“Gusti Allah, dimana harus kusembunyikan paru-paruku yang sudah bangka ini?”

Keluhnya lirih disela-sela kesibukan dadanya menyaring polusi.  Tiba-tiba dipacunya dengan cepat kaki tuanya untuk menggapai tangga bis kota yang sedang menurunkan berjejal-jejal manusia sekaligus menaikkan berjejal-jejal yang lain.  Belum juga pak tua itu selesai menyederhanakan napasnya yang memburu dan mengangkat lututnya untuk ikut berjejal naik, bis kota itu sudah tersengal-sengal bergerak maju.  Meninggalkan asap hitam yang kembali berebutan memasuki rongga dadanya.

Dua tiga kali pak tua itu harus menerima nasib dikalahkan oleh perburuan waktu ibu kota.  Baru kali yang keempat, dengan sisa-sisa kekuatan usianya dia berhasil menaklukkan kepongahan mesin metropolis itu.  Dan didapatinya dirinya telah berimpit-impit dengan lusinan ketiak di tengah lorong bermesin itu.  Matanya mencari-cari bangku yang mungkin lupa untuk diduduki.  Menghela napas panjang, lalu terbatuk menahan getar getir perasaannya.  Belasan pantat-pantat muda dengan tenangnya sedikitpun tidak bergerak, meski di atas mereka seorang nenek, seorang ibu muda dengan bayinya, dan seorang bapak tua berjuang mempertahankan kerapuhannya agar tidak terbanting ke kanan kiri.

Ketika kondektur berteriak berkali-kali menyebut sebuah nama, pak tua itu bergegas mendorong tubuhnya untuk turun.  Kali ini, nasibnya tidaklah lebih baik, karena tanpa dapat dicegah lagi, raga tuanya harus terjungkal ke tepi jalan saat sebelah kakinya masih tersangkut di bibir tangga sedangkan bis itu sudah bersicepat menerjang kebutuhan.

Kontan saja, belasan orang mengelilingi dengan rasa ingin tahu.  Sambil menahan rasa sakit, pak tua itu berusaha menghunjamkan kakinya ke bumi.  Dan dia berhasil, kemudian terpincang-pincang  meninggalkan tempat itu, diiringi belasan orang yang ikut membubarkan diri, diiringi ketidakperdulian yang kembali mencengkeram udara ibu kota.

“Menyabung tubuh dan jiwa\mendekap amanat hati\ terperangkap kelunya peradaban\ menanggalkan baju masa…..”

Gumaman antara jelas dan tidak keluar dari bibir si bapak tua,  suatu usaha hatinya untuk melupakan rasa sakit yang merambati kaki kirinya.  Dia merogoh saku celana komprangnya, digenggamnya segebok lusuh kertas bergambar pahlawan, membawa tubuhnya memasuki pelataran sebuah rumah makan.

Belum juga hidungnya melewati pertengahan pintu, sebuah suara menghardiknya dari belakang,

“Bapak tua, tunggu dulu!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun