Aroma hujan tak biasa. Menyinggahi kota yang lusuh berpeluh. Menunggui halte-halte yang sepi. Menanti keramaian di stasiun dan terminal yang tak lagi bersuara binal. Dan susah payah menikmati padamnya senja yang terlihat gagal.
Ini petrikor yang jauh dari kata sederhana. Nampak letih menggapai-gapai udara pengap yang dipenuhi oleh berita-berita gagap. Tentang apa saja. Terutama tentang cinta yang kesulitan menemukan siapa dirinya.
Lampu-lampu jalanan kuyup dalam pelukan debu yang gugup. Mengiringi tarian dansa para perempuan yang sibuk mencari rahasia dari kehangatan sunyi. Nada dan irama cuaca silih berganti menggores kornea mata. Di mana sesungguhnya letak masa silam berada.
Menara-menara sekokoh bahu para petualang, lunglai diterkam zaman. Menyeret peradaban yang perlahan menghilang. Setelah diculik linimasa-linimasa yang runtuh berhamburan.
Kota, pada akhirnya, seperti etalase hampa yang kehabisan cahaya. Hendak memamerkan paha dan busana. Namun jatuh terjerembab tanpa sempat berpegangan. Ke dalam busuknya aliran selokan.
Kota, pada nantinya, adalah pemakaman mewah yang kehilangan marwah. Terpekur. Seolah mimpi-mimpi yang gugur.
Para penghuninya. Terperangkap secara sukarela. Dalam gemerlap dunia maya. Tanpa sadar hati dan jiwanya telah tersandera. Secara cuma-cuma.
Bogor, 28 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H