Udara yang cukup tipis menggigit dinginnya pagi. Matahari belum juga sepenggalah. Namun aku sudah lelah. Mencoba menggali kesetiaan Mataram. Untuk kutulis menjadi buku tentang fajar yang tenggelam.
Mungkin aku memulainya dengan salah. Meramu masa lalu dengan sayatan sembilu. Seharusnya aku menjamunya dengan senyum paling lebar. Dari keseluruhan hati yang berdebar-debar.
Sementara angin terus saja lewat halaman belakang. Aku mencegatnya di pagar depan. Berharap bisa menitipkan pesan. Kutulis di helai kamboja yang berjatuhan. Tentang bunga, purnama, dan kupu-kupu yang bermetamorfosa.
Bunga yang tumbuh dan berbunga, dan bukan sekedar menghuni vas-vas kaca, lalu membuat mata berkaca-kaca.
Purnama yang terbit dan paripurna, bukan hanya siklus almanak yang menua, dan kemudian mati muda.
Kupu-kupu yang terlahir dalam fase yang sempurna, bukan cuma sebagai kerumitan frasa, namun lantas begitu mudah terlupa.
Aku akan memulainya lagi. Dengan bantuan pagi, senja, dan ratri.
Hingga tiba suatu masa. Sebuah perjalanan ternyata tak pernah sia-sia. Â
Bogor, 20 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H