Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Fajar yang Tenggelam

20 Oktober 2020   07:08 Diperbarui: 20 Oktober 2020   07:17 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Udara yang cukup tipis menggigit dinginnya pagi. Matahari belum juga sepenggalah. Namun aku sudah lelah. Mencoba menggali kesetiaan Mataram. Untuk kutulis menjadi buku tentang fajar yang tenggelam.

Mungkin aku memulainya dengan salah. Meramu masa lalu dengan sayatan sembilu. Seharusnya aku menjamunya dengan senyum paling lebar. Dari keseluruhan hati yang berdebar-debar.

Sementara angin terus saja lewat halaman belakang. Aku mencegatnya di pagar depan. Berharap bisa menitipkan pesan. Kutulis di helai kamboja yang berjatuhan. Tentang bunga, purnama, dan kupu-kupu yang bermetamorfosa.

Bunga yang tumbuh dan berbunga, dan bukan sekedar menghuni vas-vas kaca, lalu membuat mata berkaca-kaca.

Purnama yang terbit dan paripurna, bukan hanya siklus almanak yang menua, dan kemudian mati muda.

Kupu-kupu yang terlahir dalam fase yang sempurna, bukan cuma sebagai kerumitan frasa, namun lantas begitu mudah terlupa.

Aku akan memulainya lagi. Dengan bantuan pagi, senja, dan ratri.

Hingga tiba suatu masa. Sebuah perjalanan ternyata tak pernah sia-sia.  

Bogor, 20 Oktober 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun