Kerumunan demi kerumunan jatuh laksana hujan. Sebagian adalah percakapan, dan sisanya adalah kesepian.
Aku sudah tak lagi mengendarai keranda masa lalu. Tapi aku adalah percakapan yang sepi itu. Aku adalah kata-kata yang memuja berhala. Berupa majas-majas pias, sajak-sajak tak tuntas, dan juga sunyi yang sesungguhnya berada di daerah tapal batas.
Antara malam yang mengusung kegelapan, dan tergelincirnya matahari yang nyaris padam.
Kau menatap langit-langit kamar yang nanar. Di sana, jejak-jejak masa silam terus menguar. Menyeretmu di kedalaman telaga. Saat rombongan padma tak lagi berbunga.
Aku mengajakmu pergi. Menelusuri remah-remah mimpi yang menyerupai roti. Untuk kita sarapan. Menyuapkan suap demi suap harapan. Â
Kau mengaduk kata celaka yang terus menggaduhi isi kepala. Bagimu, kesendirian adalah harakiri yang tak terkatakan. Tapi bagiku, itu adalah fatwa rindu. Bagaimana seharusnya merapikan rak-rak buku. Karena di sanalah letak sesungguhnya masa lalu.
Dan kini, kerumunan hujan mancala rupa ke banyak genangan yang hampir semuanya adalah kubangan kenangan. Sebagiannya adalah kesepian, dan sisanya tak lebih dari udara yang dimampatkan.
Bogor, 17 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H