Sajak-sajak yang semestinya dirangkai dari kicau burung Prenjak, akhirnya terbakar oleh trotoar panas yang mengepulkan rasa cemas. Syair-syairnya meleleh seperti lava. Menghanguskan sisa-sisa senja yang masih berusaha menyemai nada-nada jingga..
Jalanan menjadi lengang. Sepenuhnya dihadiri oleh riuh rendah waktu senggang. Orang-orang memilih menyusup dalam semak. Entah itu bersembunyi, atau hanya sekedar merencanakan harakiri. Bagi pasal-pasal yang sesungguhnya ingin mati.
Pagi tadi. Di antara matahari yang meninggi dan sorot mata yang berapi-api. Orang-orang membangun tungku di hatinya. Orang-orang yang dulunya adalah utusan Garuda. Tapi sekarang merebus pantatnya di kursi yang lupa dilengkapi pelana.
Bagi mereka. Semua hal adalah pacuan kuda. Bertaruh di atas seribu kemungkinan. Kemudian memenangkannya tanpa kesulitan. Hanya dengan menata kembali bidak-bidak catur yang berantakan. Dengan mata terpejam. Dan sebuah senyuman paling jahanam.
Sementara itu. Fajar menepi bersama waktu. Menunggu.
Sajak-sajak kembali dirangkai dari mulut yang gagu.
Bogor, 11 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H