Kau berdiri di perempatan malam yang lupa telah mengenal purnama. Sorot matamu menghunjam kegelapan secara sempurna. Kau berharap menemukan sekumpulan rasi. Di langit yang sedang pucat pasi. Setelah mengiris bulan September. Melalui ketajaman hujan yang turun menyerupai gletser.
Kau mencari-cari dengan gamang. Di mana gerangan sarang kunang-kunang. Kau ingin meminjam setitik cahaya. Untuk menyalakan pelita di hatimu yang bermuram durja.
Bukan karena teriris duka. Atau tersayat nestapa. Kau hanya sedang meramu sandyakala. Dari sekian usia yang telah kau lalui. Berapa banyak cinta yang bisa kau temui.
Hari ini, kau kembali menjumpai pusat rasi tempatmu menanam tembuni. Bagimu, berkekasih sunyi telah terlampaui. Kini saatnya memanen remah-remah matahari. Agar kau bisa menanami terik dengan bunga. Agar kau bisa mendulang cahaya sejauh saujana.
Malam ini, ada irisan takdir yang mesti kau tulis. Bagimu, sajak-sajak liris adalah gerimis. Sekarang waktunya membaca buku tidak dengan hati gagu. Karena kau telah menyimpan baik-baik samsara masa lalu.
Bogor, 22 September 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H