Seseorang menawarkanmu pagi yang lebih bahagia. Kau membuka pintu dan jendela, berharap ada cinta sedang memandangmu dengan mata berkaca-kaca. Tapi ternyata kau hanya menemui remah-remah cuaca yang berjatuhan. Seperti hujan. Tapi bukan. Semua itu cuma serpihan khayalan.
Kau tampar kesendirian dengan menyanyikan sedikit lagu yang sanggup mengusir sisi tajam masa silam. Seseorang lalu menawarkanmu keramaian. Kau membuka mulut untuk mulai berbincang. Namun udara sedang kehilangan percakapan. Kau hanya bisa bergumam. Seperti malam yang paling mencekam.
Seseorang menawarkanmu purnama untuk menghilangkan dahagamu akan cahaya. Kau benar-benar berniat menyinggahkan mata kepadanya. Tapi kau hanya berjumpa dengan gelap yang berlalu-lalang. Kehabisan cahaya yang sedang memasuki waktu senggang.
Kau menyalakan api di segenap sudut-sudut mimpi. Berharap sangat tidak dipadamkan sunyi. Seseorang kemudian menawarkanmu gending-gending yang bisa membuatmu tertidur pulas. Terlepas dari batas-batas kehidupan yang pias. Namun kau tetap utuh terjaga. Mungkin karena kau selalu merindukan senja.
Pada akhirnya, tak seseorangpun menawarkanmu apa-apa. Dan kau merasa sangat bahagia. Karena tawaran bahagia itu jauh lebih maya dari apapun yang ada. Bahagia itu selalu ada. Tersimpan jauh di dasar hati dan selasar mata.
Jakarta, 11 September 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H