Aku sedang menyusun limpasan hujan, bagi seorang perempuan yang tengah mengumpulkan situs-situs airmata peninggalan masa silam. Banyak relief yang ditemukan. Dalam bentuk huruf arkeolog dan kenangan yang monolog. Nyaris semua berantakan.
Perempuan itu mulai berdansa. Mengiringi musik yang dipadukan oleh sepercik hujan dan sepotong sandyakala. Di sebuah panorama cuaca. Pada hati yang kekeringan dan jiwa yang ditenggelamkan. Oleh seperangkat kesunyian. Dan juga oleh musim yang sengaja didinginkan.
Perempuan yang maskaranya ditebalkan bayangan rembulan itu, mengaduh kelu. Sebersit kenangan menyeretnya dalam bisu. Yaitu ketika gelombang kecil lautan di pantai yang saling bertautan, menghempas bibir pesisir. Dalam irama teratur jejak perjalanan takdir.
Aku mengubah susunan masa silam. Ke dalam bentuknya yang paling kelam. Agar perempuan itu kembali terbangkitkan dan kemudian menerbitkan harapan demi harapan. Dan bukannya kericuhan demi kericuhan yang membuat benaknya dirajam habis-habisan. Oleh ujung tajam kenangan, maupun tubuh tumpul masa silam yang mati tapi lupa dimakamkan.
Tj. Batu, 26 Agustus 2020 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H