Di bibir pantai yang sepi, aku berdiri di hadapan Avicennia dan Brugueira yang sedang terbata-bata mengeja angin melalui mulut stomata yang terbuka. Aku sendiri, mengalungkan sisa cahaya senja, sambil mengeja terbata-bata beberapa pasal tentang cinta.
1) Cinta seorang ibunda yang berbaring sembari memeluk nafas teratur bayinya yang tertidur. Dari sudut mulutnya yang sedikit mengering, meluncurlah kalimat-kalimat pendek yang mengapung hening. Berupa doa-doa yang memanjat angkasa dengan suara-suara setenang riak telaga.
2) Cinta seorang pertapa kepada Tuhannya yang telah membuatkan gua dan garba tempatnya melantunkan tembang-tembang kerinduan terhadap kebaikan dan kemuliaan. Atas nama dharma kemanusiaan. Demi teguh dan kokohnya kemaslahatan.
3) Cinta sepotong pagi yang menggeliat ringan setelah terjaga dari penghujung mimpi yang berat. Terhadap embun-embun yang tidak pernah membiarkan pelepah dan daun-daun terperangkap karat. Bagi mereka, tarian dan dansa sebelum cahaya pertama, adalah nuansa romansa paling paripurna.
4) Cinta seorang pengembara yang tersesat di gurun pasir lalu menemukan tangkai bunga kaktus meneteskan air di tenggorokan seekor anjing gembala yang sedang tergopoh-gopoh mencari tuannya semenjak savana menghilang dari penglihatan. Digantikan oleh tundra yang ditumbuhi musim dingin dari kota-kota yang berangin.
5) Cinta setitik gerimis kepada tempayan tipis yang menampung kejatuhannya dengan penuh kelembutan. Di musim-musim yang masih dipenuhi kekerasan. Dari keruhnya udara, hingga merebaknya air mata. Akibat cuaca yang seringkali dipulasara. Oleh manusia yang lupa di mana meletakkan hatinya.
Pasal-pasal itu kemudian dibukukan. Agar bisa menjadi bahan bacaan. Bagi para duafa cinta yang benar-benar telah kehabisan percakapan.
Tj. Batu, 26 Agustus 2020 Â Â Â