Serumpun malam. Menumbuhi halaman yang di sudut-sudutnya tergeletak pokok Cemara, bunga Kamboja, dan tangkai kecil Wijayakesuma. Semuanya sedang terkesima. Menunggu. Cahaya lampu menyamaknya menjadi kelambu.
Sepotong langit. Nyaris pecah berantakan di ruang-ruang kegelapan. Sinar rembulan sedang sirna. Digantikan oleh binar mata mekar bunga Dahlia. Semuanya juga menanti. Bait-bait puisi yang menjadi doa-doa. Bagi siapa saja yang tidak merasa baik-baik saja.
Sayap-sayap patah. Dari angin yang terbang menyendiri sembari menguliti sepi. Tergeletak di rerumputan yang sempat basah. Setelah hujan yang semenjana memeluknya secara paripurna. Senja tadi. Ketika iris matahari menyudahi keletihan. Dan semburat jingga mulai menyusun peraduan.
Selembar kain bendera. Berkibar pelan di hadapan jalanan, yang telah menghentikan hiruk pikuknya saat dunia baru mulai terpejam. Itu Sang Saka. Sebuah simbol yang berani dan secarik prasasti yang tak gentar mati. Bagi sebuah negeri, yang dipinang di pelaminan api.
Secercah harapan menguar beriringan dengan mimpi yang bercadar. Menguak rahasia demi rahasia. Atas nama cinta. Demi ibu pertiwi yang masih mencari rasa merdeka. Saat nanti anak-anak yang dilahirkan benar-benar menyayangi siapa ibundanya. Tanpa sedikitpun tawar menawar harga.
Bogor, 20 Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H