Masih di pagi yang sama, kita beradu tatapan mata. Berbincang tentang padang ilalang, waktu senggang, dan lebah pokok Sialang.
1) kita pernah menumbuhkan ladang ilalang. Di halaman rumah dan pelataran hati. Ketika hujan masih memiliki musimnya, dan saat kemarau masih semasam perasan limau. Kita menjadikan ujung lidah sebagai pedang. Setelah sebelumnya mengasah tajamnya menggunakan sajak dan geguritan.
2) kita berbantah bagaimana cara mendapatkan waktu senggang. Agar bisa bersama-sama menyaksikan rembulan terlahir hingga melenggang pulang. Di sudut langit yang paling sepi, kita duduk menyesap secangkir kopi. Mengabadikan segenap sunyi yang berangsur mati. Â
3) kita sepakat mengenai lebah yang terbang tak kenal lelah. Demi berburu nektar bagi rumahnya di pokok Sialang yang nyaris rebah. Terhuyung dihempas waktu. Ketika hutan rimba bermatian satu persatu. Kita turut berbelasungkawa. Dengan cara menghambur percikan cuka. Bagi semua kisah-kisah duka.
Di pagi yang berbeda, kita bercakap tanpa kata. Bertukar pandangan tentang musim yang gersang, hari-hari panjang, dan kupu-kupu Monarki yang pulang.
1) kali ini, kita menggunakan cuaca sebagai salah satu cara membaca pertanda. Hujan adalah musik, sedangkan kemarau adalah terik yang artistik. Kita menggambarnya di kedalaman jiwa. Sebagai musim di hati kita.
2) hari-hari yang kita lalui, adalah jumlah percikan air yang kita siramkan pada rimbunan melati. Menerbitkan harapan sebagai tajuk rencana. Lalu sepenuhnya melupakan apa yang dinamakan amnesia terhadap cinta.
3) kita, mengikuti kisah panjang kupu-kupu Monarki yang pulang. Menjadikannya filosofi. Bahwa terlalu letih tidak berarti harus selalu berharakiri.
Bogor, 9 Agustus 2020