Hanya dengan membaca kisahmu di Waimital, puluhan tahun kemudian, aku seakan menemukan potongan cahaya rembulan di pelataran kegelapan. Aku seolah menjumpai mercusuar di samudera dengan badai tak kunjung reda. Dan aku bisa meraba ujung jantungku serta merasakan denyutnya untuk memastikan duniamu memang benar ada.
Kau berkunjung ke ruang-ruang kesadaranku bahwa menjadi lelaki utuh itu sangat sederhana. Mengikuti apa kata hatinya. Lalu tertawa di atas pematang sawah yang juga balik tersenyum melalui bulir-bulir padinya.
Lelaki dari Waimital itu mencandai kerumitan dengan caranya sendiri. Menyerahkan tubuhnya kepada matahari yang menyengat setiap lubang pori, dan berbincang dengan petang yang membayang tanpa sedikitpun rasa gamang.
Dia seperkasa elang. Dia adalah puncak alfa dari segala jenis serigala. Dia hadir di wilayah sunyi tanpa merasa kesepian. Karena baginya, keramaian itu selalu ada di tatapan mata, ketika surai-surai semangat membuatnya berlari sekencang kuda.
Lelaki dari Waimital itu berdiri gagah di ujung lidah ombak laut Banda. Dia, mengemudikan gelombang sesuai keinginannya, dan bukan karena bagaimana cara dunia memandangnya.
Jakarta, 27 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H