Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi: Imperium Badai

4 Juni 2020   10:13 Diperbarui: 4 Juni 2020   10:06 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini
aku coba mengelilingi
kabut yang ditebarkan oleh Gunung Salak
di sepanjang lembah dengan angin yang menyalak-nyalak
dan aku menemukan
sebait kerinduan
di rumpun bambu yang kesepian
semenjak ditinggalkan Nabi Sulaiman

Aku berusaha sekuatnya
menyapa apa saja
yang sedang meringkuk kedinginan
karena kehabisan keinginan
setelah beberapa waktu
disandera kelu
dan aku menemukan jawaban
di antara deras air sungai yang mengalir
bahwa takdir
tak akan pernah berdiam di titik nadir
ia akan selalu bergerak
seperti lintasan awan yang berarak
tetap saja melahirkan hujan
walau cuaca enggan
memasuki musim sedu sedan

Dan malam nanti
aku akan coba berdiam
menunggu kabut kembali bergumam
di desa-desa yang diterkam cemas
dan kota-kota yang terperangkap was-was
akan kabar damai
di antara mata badai
yang sudah terlalu lama
menjadi imperium tak bernama

Bogor, 4 Juni 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun