Aku ingin belajar menulis puisi
seperti air yang mengalir akibat gravitasi
bukan karena dijejalkan dalam pipa
lalu dipompa rima dan gaya bahasa
menjadi arus yang menderas
tapi kehilangan ruh dan aras
Aku ingin berenang di dalamnya
sampai aku gelagapan
kehabisan nyaris semua percakapan
lalu mengambil nafas
seperti seorang penyintas
yang berhasil melintasi tapal batas
antara fiksi dan realita
kemudian menggerutu sejadi-jadinya
ternyata merenangi puisi
adalah menyelami kedalaman filosofi
Jika aku lalu memusuhi puisi
karena membuatku kehilangan letak kewarasan
maka biarlah aku menjadi gila
meracaukan bait-bait yang sakit
lalu menyembunyikan segala rasa pahit
dalam manisnya romantika
bersama kopi, hujan, dan senja
Saat menulis puisi
aku tidak ingin terjatuh dalam lubang
yang berupa kuburan kata-kata
akibat otak dan benak
dijejali lorong-lorong gelap
yang disebut kaidah sastra
lebih baik aku membiarkan puisiku
dimakamkan tanpa upacara
menjadi bangkai yang tak bisa dibaca
tapi aku sempat mengkafaninya
dan mendoakan dengan keheningan paling sakral
bahwa ini bukan kalimat-kalimat yang sengaja dipenggal
oleh ketakutan akan gagal
Karena sebuah puisi
dilahirkan oleh banyak ibunda
lalu dibesarkan dan dipelihara
sebagai yatim piatu
dan hanya bisa didewasakan oleh waktu
bersama hujan, langit, dan kisah-kisah kelu
Bogor, 14 Mei 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI