British Airways
Doha-London
Kali ini hanya mereka bertiga yang ada di 1st class. Tidak ada penumpang tambahan di kabin ini. Andalas dan Akiko bersamaan menghela nafas lega. Kalaupun ada sebuah kejadian, atau kematian, tidak akan disaksikan orang. Akiko bahkan memberikan pesan khusus kepada pramugari bahwa mereka tidak mau diganggu dan tidak perlu pelayanan makanan dan minuman. Mereka akan meminta jika diperlukan.
Akiko mencoba mencetak ulang ingatannya terhadap beberapa orang yang diidentifikasi Andalas sebagai orang-orang berbahaya yang mungkin akan mengganggu mereka.
Pria sangat necis, wanita cantik umur tiga puluhan, pemuda bertopi dan berkacamata hitam, wanita dari kalangan jet set, pria paruh baya bermata sangat sipit, lelaki gondrong, dan 2 pramugari maskapai.
Akiko teringat ayahnya. Bagaimana semenjak kecil dia dididik dengan keras dan disiplin. Bagaimana ayahnya membiarkan mata kecilnya yang baru 10 tahun menyaksikan sebuah pembunuhan ala Yakuza. Bagaimana dia pernah diminta oleh ayahnya menemani seorang tokoh Yakuza tua yang kemudian tewas di depannya saat terjadi baku tembak dengan polisi ketika dia berusia 12 tahun. Lalu bagaimana dia tidak boleh berkedip saat seorang anggota Yakuza yang berkhianat menjadi informan Interpol dipotong satu persatu jari tangannya saat umurnya baru saja beranjak 15 tahun.
Akiko sama sekali tidak bergidik atau menangis saat itu. Semua dihadapinya dengan mata terbuka. Dia tahu ayahnya mendidik seperti itu dengan harapan dia masuk ke dunia Yakuza dan terbiasa menghadapi segala macam bentuk kekerasan. Hanya ada 1 hal yang ayahnya gagal. Akiko punya kekerasan hati yang luar biasa. Dia sama sekali tidak berkeinginan tercebur masuk di dunia ayahnya. Cita-citanya hanya satu. Menjadi seorang dokter dan menebus semua perbuatan ayahnya.
Sebagai anak seorang ketua Yakuza yang berpengaruh, tentu Akiko ikut menjadi sasaran bagi organisasi pesaing. Beberapa kali terjadi upaya penculikan terhadapnya. Semuanya gagal karena kemanapun Akiko pergi, selalu ada sekelompok pengawal tangguh di sekelilingnya.
Namun kejadian terakhir membuat ayah Akiko trauma. Akiko satu-satunya yang selamat dan semua pengawalnya tewas saat terjadi baku tembak di acara wisudanya sebagai dokter.
Ayah Akiko meminta agar anak perempuan satu-satunya itu pergi dari Tokyo atau bahkan Jepang. Dia tidak akan sanggup kehilangan Akiko. Apalagi bila kematiannya dengan cara Yakuza.
Akiko memang akhirnya pergi. Dia memutuskan bekerja di kapal pemburu paus. Akiko menyukai petualangan dan tingkat resikonya yang tinggi. Padahal bisa saja dia bekerja di rumah sakit terkenal di manapun di dunia ini. Selain karena pengaruh ayahnya, juga karena Akiko adalah lulusan terbaik kedua sebagai dokter umum dan lulusan terbaik pertama ketika mengambil spesialisasi Epidemiologi di Universitas Tokyo.
Perjalanan Akiko kurang lebih sama dengan Cecilia. Berasal dari keluarga yang sangat mapan namun memutuskan untuk terjun di dunia kerja yang cukup mengerikan bagi perempuan.