Jika sepotong puisi berhasil menggantikan segunung kesedihan menjadi secawan kegembiraan, maka puisi itu pasti dituliskan di sebuah ladang ketika padi-padi tumbuh subur tanpa memohon-mohon air yang tergenang dari sebuah musim yang terkadang kehilangan kenangan.
Puisi itu layaknya remah-remah roti yang masih tersisa di kantung plastik yang sudah remuk redam sementara ruang-ruang lambung sedang mencari makan di panjangnya trotoar pinggir jalan. Di saat tak satu orangpun berlalu lalang karena kakinya terikat kuat pada kaki kursi sebagai tawanan.
Apabila sebait sajak mampu meluruhkan samudera ratapan yang mengiang-ngiang di telinga semua orang atas kejadian yang sedang memberi cacat atas organ-organ peradaban, maka sajak itu tak pelak lagi dibacakan oleh angin dan hujan di tengah huru-hara kesepian yang menumbuhi jenazah keramaian.
Sajak itu. Sebagaimana aransemen lagu. Mengisi wilayah lengang yang sedang ditinggalkan rasa manis. Digantikan oleh pahit yang mengiris-iris. Sama seperti dahulu ketika kematian hitam dicatat oleh abad sebagai sejarah legam. Walau akhirnya semua lewat begitu saja setelah sempat mengisi bab-bab tentang tanda-tanda kiamat.
Manakala sayatan-sayatan luka telah disembuhkan. Apakah oleh waktu atau hingar-bingar zaman yang berlompatan. Sajak dan puisi tetap menyumbangkan ruh-ruh yang menghidupkan kembali dunia yang nyaris tertidur. Ke dalam geliat kehangatan di dalam bergelas-gelas anggur.
Seperti kata-kata para pujangga semenjak buku-buku mulai menjadi pustaka. Tak ada luka yang selalu menganga. Tak pernah ada duka yang mampu membunuh kegairahan dari rasa gembira.
Putus asa itu bukan diterbitkan. Ia hanya lewat sekelebatan sebagai deretan iklan.
Bogor, 28 April 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI