Aku dulu rasanya pernah berjanji. Membawakanmu setangkai melati yang mekar pagi tadi. Aku tahu kau menyukainya. Meskipun banyak yang berkata, bahwa wangi melati itu dilahirkan dari rahim perkara.
Entah perkara apa. Tapi yang aku tahu mungkin malah wanginya berprahara. Karena sanggup meniupkan badai kerinduan. Hingga ke sungsum tulang belakang.
Mungkin perkataan orang-orang itu ada benarnya. Lihat, aku sekarang dikepung hujan yang bersamsara. Padahal aku sedang berkemarau dengan waktu senggang. Menyimpannya di ruang-ruang lengang. Untuk kelak bisa mengingatkanmu tentang bahasa pulang.
Aku sedang tak ingin menjadi romantis. Gerimis ini diaransemen terlalu ritmis. Aku kehilangan riak-riak pemberontakan. Ketika hujan deras jatuh berantakan namun berhasil membuat irama yang menyuntikkan adrenalin seluas lautan. Â
Perihal yang sebenarnya, aku mau menjadi sepenyamun para lanun yang membebat lukanya dengan sirip ikan terbang. Lalu memacu perahu sekencang suara gelombang.
Tapi ini lebih dari sesungguhnya. Aku adalah perkara. Dan kau lah setangkai melatinya.
Bogor, 15 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H