Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Dialektika Hujan

10 April 2020   19:27 Diperbarui: 10 April 2020   19:25 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.pexels.com

Pernahkah kau mendengar, apa yang dibisikkan gerimis, saat telingamu sedang disekap kemarau, dan hatimu dibekap setangkup cemas? Atas beberapa perkara, yang musim mungkin adalah salah satunya?

Dengarkan baik-baik. Bagaimana hujan berdialektika. Dalam perpaduan antara, mendung suram dan romantisme gamang. Ia pasti memberitahumu. Lewat nota-nota lagu.

Dengarkan juga. Ketika hujan merubah dirinya. Sebagai perawan. Mengajakmu ke pelaminan. Lalu menyimak alunan gamelan. Dengan tembang-tembang yang berusaha mengenang ingatan. Tapi lupa di mana letak gambang dan bonang.

Hujan. Bagaimanapun juga. Akan selalu berdialektika. Agar kita tak benar-benar jatuh di kedalaman amnesia. Lantas kehabisan rindu dan kehilangan cinta.

Karena tentu saja. Di setiap pesan yang diunggah pada setiap rintiknya. Adalah segunung rindu dan sesamudera cinta.

Buktikan saja.

Bogor, 10 April 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun