Tengah malam tak pernah buta. Ia hanya memunggungi langit. Selepas purnama.
Pada kegelapan, ia melepas kegelisahan. Menyambut mimpi yang berhamburan.
Dari kantung mata seseorang. Atau mengambilnya dari waktu senggang. Yang benar-benar terbuang.
Ia meniupkan janji-janji. Tentang pagi, yang selalu ditepati.
Ia menyudahi banyak perkara. Dengan merahasiakannya.
Ia adalah tengah malam. Yang memilih diam. Daripada harus meliarkan gumam.
Tengah malam selalu mendengar. Sekecil apapun suara. Apakah itu dengkur yang kepagian. Atau mata terbuka yang tak melihat apa-apa.
Ia menginginkan dinihari. Di pelukannya yang dingin. Untuk bersama-sama. Membangunkan kesepian.
Menuju keramaian, yang tidak memerlukan percakapan. Barangkali hanya gerak bibir mengeja. Atau patahan kata terbata-bata.
Maka lahirlah doa-doa. Dari ibunda yang tak pernah mengandungnya. Mencari jalan paling sunyi. Agar sampai kepada Tuhannya. Tanpa perantara.
Bogor, 10 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H