Siapa saja yang paham mengenai rindu lantas lupa bagaimana cara menyampaikan, maka ia serupa pagi yang tidak menyadari betapa lentiknya cahaya matahari di permukaan dedaunan.
Kapan pun seorang penyamun samudera dilanun oleh ayat-ayat sederhana tentang kebaikan, maka ia tak laiknya sepotong kegelapan yang terjatuh di bawah lilin yang dinyalakan.
Seperti apapun juga suara aliran sungai-sungai yang membelah kerumunan bebatuan lalu menghilang di sela-sela koridor yang mengelilingi pusat rasa sepi, di situlah letak sesungguhnya percakapan. Antara vokal yang berdesis liris. Dengan konsonan-konsonan beraroma romantis.
Air darimanapun datangnya. Apakah limpasan hujan, tetesan tempayan, maupun percikan airmata, memiliki arti yang kurang lebih sama. Yaitu berbagi hidup dengan cara sederhana. Karena tidak satupun selesai secara paripurna. Lantas kemudian menjadi sempurna.
Itu tak pernah ada. Dan tak akan pernah ada.
Bogor, 6 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H