Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Sajak dan Puisi yang Terdampar Sepi

5 April 2020   18:30 Diperbarui: 6 April 2020   18:49 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jalanan Malam | Photo by Dale Nibbe on Unsplash (unsplash.com/@dalenpdx)

Aku menyembunyikan puisi. Tentang cahaya matahari. Dari kegelapan yang hendak menghitamkannya. Malam ini juga.

Aku sendiri. Berusaha sekuatnya bersembunyi dari terkaman rasa sepi. Ketika kegaduhan memutuskan menaiki ujung langit. Berdiam di sana, untuk menyembunyikan rasa sakit.

Rembulan, termangu di pojokan. Menunggu. Kerinduan memanggilnya. Dari orang-orang yang sedang mendiamkan segala macam percakapan. Yang terlalu banyak kehilangan konsonan.

Hujan terakhir hari ini, mempersilahkan api. Mengambil alih kehangatan. Juga lampu-lampu jalanan, yang melenyap dalam kesenyapan. Di antara ketiadaan suara bedug dan tetabuhan.

Aku mencoba membaca sajak. Tentang rasa dingin yang terdampar. Di sela-sela angin yang enggan bergerak. Berteduh di bawah satu-satunya cemara. Di samping pokok kamboja yang kehabisan bunga.

Tapi suaraku hanya sampai di telingaku sendiri. Berbisik selembut kapas yang diterbangkan musim kering. Saat semua perihal menidurkan diri dalam hening.

Bogor, 5 April 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun