Bila aku diberikan pilihan mencengangkan, apakah itu merenangi langit biru di matamu, atau tenggelam di lubuk hati yang dicengkeram rindu, maka aku tidak akan memilih salah satu. Aku akan memilih keduanya, sebagai bekalku menyusun rencana, bagaimana mengabadikan purnama, dan seperti apa menyalakan gerhana.
Di antara lapang dada dan sesaknya isi kepala, kita bisa mencoba mengajak musim dan cuaca. Dalam sebuah ansamble orkestra. Hujan dan kemarau bisa menjadi dirijen yang piawai. Sementara musim dingin dan berangin dapat menyertakan keriuhan badai.
Semua menjadi utuhnya lagu yang mampu menghalau rindu. Tidak di kerumunan rumpun bambu. Karena itu sungguh bersembilu. Namun menuju tempat kelahiran matahari. Agar kehangatan tak pernah mati.
Di sela-sela percakapan yang kehabisan vokal dan kehilangan konsonan, kita boleh saja berdiam. Mengatakan semua dalam hati. Tapi tidak sedikitpun jatuh dalam kekecilan hati.
Beramai-ramai kita bertukar tatap mata. Bercerita. Tentang apa saja. Kecuali tentu saja, tidak tentang padamnya segala bentuk cahaya.
Bogor, 31 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H