Malam seakan berhenti di satu titik. Atau di satu angka. Di ujung pendulum yang rusak dan enggan bergerak.
Aku tidak bisa menemukan apa-apa yang bisa aku jadikan sebuah inspirasi menuliskan sajak-sajak sedahsyat letusan merapi. Angin cuma berdiam. Langit juga nampak padam. Dan cahaya lampu taman itu memang menyala, tapi kelihatan sekali kebanyakan beban. Redup. Kuyup. Seperti mata seorang gadis habis menangis. Setelah kekasihnya dilarikan sajak-sajak liris.
Mungkin seharusnya aku menulis cerpen saja. Aku sudah punya sesuatu di kepala. Tapi sesuatu itu juga akhirnya mampat karena ternyata isi kepalaku salah alamat. Dari semula hendak berkisah tentang cinta, namun ternyata kalimat-kalimatku berlarian mengejar airmata.
Bukan terhadap hal gagal atau kecewa. Tapi hanya disebabkan oleh kesepian yang mendesak hingga ujung retina. Sebab di tengah malam ini, vokal dan konsonan tak hendak berbunyi. Mungkin ingin meniru langit yang terkurung sepi. Atau barangkali juga mencontoh dinihari yang kehabisan matahari.
Aku menyerah. Menyudahi bait-bait yang sangat terlihat lelah. Di ujung pendulum yang sama sekali tidak rusak. Pada jam dinding yang angka-angkanya sangat berserak.
Bogor, 29 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H