Sepertinya malam berlalu begitu saja. Padahal biasanya diisi dengan pertunjukan seni musik dan seni rupa.
Suara-suara yang ada, adalah hening yang berdiam diri. Menyelam di kedalaman sunyi. Seperti pagelaran opera. Namun kehilangan seruling dan harpa.
Langit meletakkan dirinya di antara bintang yang padam, rembulan yang tenggelam, dan pawai mendung-mendung hitam.
Fragmen malam terpecah menjadi beberapa bagian. Satu sisi yang terus saja menyiarkan hujan, dan sisi lain melakukan pemakaman diam-diam.
Obituari tak lagi dituliskan di koran-koran pagi. Ucapan belasungkawa juga tak sempat mengirimkan karangan bunga. Doa-doa yang mengalir. Mencari jalanan yang sepi karena dilakukan sendiri-sendiri.
Satu hal paling ditunggu saat ini. Adalah kemarau yang bereinkarnasi. Merubah dirinya menjadi pasukan perang. Sambil berucap ya marhaban.
Di sanalah pedang dan kelewang diletakkan pada mulut-mulut kehausan. Mengiris ketakutan, menyayat kecemasan, ke wilayah-wilayah yang kembali terpetakan.
Seperti perjalanan takdir, bagi sebuah awal, akan ada sebuah akhir.
Karena pada setiap zaman, akan selalu ada fase terlukanya peradaban.
Bogor, 28 Maret 2020