Aku sangat berharap keajaiban puisi. Hari ini. Bukan sebagai obat pandemi. Namun sekedar agar orang-orang membaca. Masih banyak tersisa cinta di dunia. Dibanding kericuhan dan kekacauan. Sehingga tak ada yang perlu ditakutkan. Kecuali saat mulai timbul ingatan, bahwa Tuhan bisa sejenak dilupakan.
Aku tidak memaksudkan menulis sebuah puisi religi. Untuk yang satu ini, aku adalah asap tanpa api. Aku hanya ingin sebuah keajaiban puisi di hari-hari ketika kata-kata yang tersisa mengunci dirinya sendiri. Di relung yang paling rahasia. Atau di ceruk yang paling berbahaya.
Seorang bayi, menyusu sambil menatap mata ibunya yang bercahaya. Ada tetes-tetes puisi mengaliri kerongkongannya. Bait demi bait membuat jantungnya berdetak seperti seharusnya. Ini, adalah puisi kasih sayang paling sempurna.
Seorang pekerja harian, memandangi jalanan yang lengang. Menyaksikan banyak sekali puisi di setiap titik persimpangan. Menggantikan lampu lalu lintas yang berhenti bekerja. Membuatnya tidak kesulitan mendorong kencang gerobaknya. Sebab tak ada satupun pembeli yang menghentikannya. Ini, adalah puisi bagi kaum bersahaja pada saat kehidupan sedang dikarantina.
Seorang guru, terpaku pada deretan kosong bangku-bangku. Murid-muridnya menjelma menjadi puisi-puisi yang belum selesai dituliskan. Sang guru merasakan dengan hikmat setiap bulir airmatanya yang juga berubah menjadi puisi. Di hari ketika dunia memutuskan bersamadi. Setelah sekian lama mendiami wilayah hiruk-pikuk tiada henti. Ini, adalah puisi tanpa rima yang sedang berduka.
Satu judul puisi, mencari gaya bahasa paling semenjana. Di hari ketika semua alamat menutup pintu. Menunggu hingga matahari yang sesungguhnya datang bertamu. Dan langit telah kembali berwarna biru.
Bogor, 22 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H