Aku pernah menyinggahkan mata
di barisan paling muka
ketika melewati ruang perpustakaan
yang sedang disibukkan
merapikan buku-buku
tentang masa lalu
Aku bertanya kepada para penjaganya
yang jika dilihat dari raut wajahnya
sedikit berduka, namun juga bergembira
"kenapa kisanak berduka? Bukankah masa lalu sudah berlalu dan kita tidak perlu mengenang perihal kelu?"
"Lalu kenapa pula kisanak nampak gembira? Bukankah masa silam itu sesuatu yang berbahaya?"
mereka tidak menjawab dengan mulutnya. Mereka menjelaskan lewat tatapan mata.
kering dan bersahaja.
mungkin pertanyaanku semakin menjejalkan kerumitan di kepala
atau barangkali jawabannya justru akan mengaduk haru-biru tentang ingatan yang berusaha lupa
Entahlah
masa lalu memang terbuat dari ujung paku
sanggup menorehkan memori yang pilu
sekaligus tersusun dari partikel-partikel bahagia
yang menggiring otak pada datangnya rindu
Jadi
biarkan saja sungai-sungai mengalir dari ketinggian
membelah lembah dan perbukitan
sampai akhirnya tiba di muara
tempat paling tepat untuk bermufakat
bahwa masa silam adalah wajah lain dari hikayat
Jakarta, 15 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H