Tak banyak sajak yang bisa ditulis malam ini. Angin sedang berhenti bergerak. Menghindar berpapasan, dengan sudut-sudut negeri yang dicekam ketakutan.
Pori-pori langit begitu mampat. Tak sepotong bintang pun kelihatan. Mendung pekat yang ada, hanya menjadi tirai jendela yang salah pesan ukurannya. Hujan? Mungkin besok atau lusa, saat masa hibernasi telah usai bagi gerimisnya.
Lampu-lampu kota meredup menyerupai sorot mata sembab setelah menerima berita buruk. Jalanan yang semestinya sedikit terang, hanya terlihat seperti ular hitam yang kegemukan. Lalu lalang orang-orang seperti manekin berjalan. Tanpa gairah. Seolah semua birahi telah kehabisan marwah.
Desa-desa menjelma menjadi kuburan. Sepi tanpa percakapan. Kalaupun ada, tak lebih dari bisik-bisik yang tertahan di laring tenggorokan.
Nyaris semua mata ditidurkan dalam kecemasan. Menjumpai potongan mimpi yang merintih-rintih. Dengan warna hitam putih.
Ini semua. Bukan masa jeda bagi ribuan kata-kata, untuk berhenti bekerja. Namun, kabar yang beredar tentang penyamun, menyebabkan kelunya lidah kosakata. Setelah ditinggalkan hampir semua tanda baca.
Kecuali koma. Menunggu takdir sedang menyelesaikan pekerjaannya.
Jakarta, 4 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H