Kita tidak bisa mengelak dari Februari. Bulan yang seharusnya memang mengusung hujan. Dan menjanjikan kesembuhan. Bagi orang-orang yang berencana patah hati. Juga orang-orang yang jatuh cinta namun tubuh cintanya tumbuh di antara duri.
Seperti kamu juga tak bisa mengelak dari aku. Bukan sebagai kekasih, namun sebagai bunga-bunga yang kamu tanam. Di permulaan musim. Ketika kerak matahari masih mudah berjatuhan. Di halaman, maupun di tempat-tempat kamu pernah menitipkan masa silam.
Kita mesti segera beranjak, dan mengakhiri Februari dengan segudang kegembiraan. Untuk apa meratapi sepi, jika bisa mendulang percakapan tiada henti. Untuk apa mengoyak sunyi, bila sanggup menjahit perbincangan dalam meriahnya origami.
Kamu adalah almanak yang aku letakkan di meja kerja, ruang tunggu, dan gerbong kereta. Â
Saat aku menyusun tabel rencana, maka kamu adalah matriks neraca. Ketika aku termangu menanti jadwal keberangkatan, maka kamu adalah bangku-bangku yang menemani hingga peluit menjerit-jerit kelabakan. Manakala lokomotif dan rangkaiannya berhenti di jalur satu, maka kamu akan segera tahu bahwa aku ada di situ.
Dan kita, mengakhiri Februari dengan hati-hati. Lalu bersama-sama menunggu Juni. Bulan yang senafas dengan Februari. Saat cinta kasih tak pernah kehabisan musim semi.
Bogor, 1 Maret 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI