Sebenarnya aku ingin menulis cerpen yang bisa memporak-porandakan tatanan norma. Yaitu dengan menampilkan seorang wanita yang patah hati lalu membunuhi kunang-kunang yang mengerubungi retina matanya.
Tapi aku tak bisa. Aku lelaki yang dilahirkan dalam seni romansa. Tak mungkin aku menjadi herbivora yang tiba-tiba memangsa hyena.
Aku beralih pada keinginan menulis novel yang sejak mulanya bercerita tentang bahagia dan di akhirnya berjumpa dengan keping-keping marabahaya yang menyeret tokohnya menjadi sandyakala. Atau menjadi hujan yang disertai petir pada setiap seringainya.
Tetap saja aku tak bisa. Bahagia adalah frasa absurd yang sulit dicari. Aku tak mungkin membiarkan para pembacaku bunuh diri hanya karena tersedak ular beludak di akhir cerita yang bukan tentang harakiri.
Lantas aku menuliskan saja puisi-puisi yang berkisah tentang kamu, realita, dan mimpi. Perempuan yang hidup di kelopak anggrek bulan, sering meratapi hujan, dan juga bercita-cita menanam rembulan.
Kali ini aku sanggup melakukannya. Mudah saja. Aku tak ingin kamu patah hati. Lalu tiba-tiba menyuruhku menjadi sosok fiksi.
Bogor, 29 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H