Tiba-tiba saja. Kau takut pagi membunuh semua kegembiraan. Kau pikir setiap butiran embun adalah simbol dari pecahan kaca yang mudah menerbitkan airmata. Kau digulung oleh skeptisme para pecinta. Jatuh cinta itu sama dengan belajar bersepeda. Jatuh lalu terluka.
Aku ingin menghiburmu dengan mengatakan beberapa teori menghebohkan tentang jatuh cinta. Tapi aku membatalkannya. Aku khawatir kau akan larut dalam kecemasan. Teori-teori itu justru akan membawamu pada jejak-jejak kegelisahan.
Kalau begitu, mungkin ada baiknya aku bercerita saja tentang Rahwana. Seorang legenda yang dianalogikan sebagai raksasa pencuri cinta. Padahal tentu saja, itu mengada-ada. Rahwana adalah pendulang cinta yang membiarkan tubuhnya mendingin di tengah-tengah sungai yang berangin. Baginya, cinta adalah jeram yang mesti dilalui dengan senang hati. Bukan lubuk yang mudah dijajah dan dikoloni.
Apabila ternyata kau tetap saja mengaduk benakmu dengan ujung lidah Katrina, mungkin ada baiknya kau menepi di dangau tengah sawah yang bersahaja. Di sana, kau bisa membantu mengusir burung-burung pipit penyamun bulir-bulir padi. Sekaligus juga kau ajak ikut bersama-sama menyanyi.
Mendendangkan pagi dan bukan lingsir wengi. Menembangkan cahaya mentari dan bukan lagu-lagu patah hati.
Mengerti?
Bogor, 29 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H