Bagi saya demikianlah adanya. Puisi lebih merupakan instrumen yang diciptakan untuk menangkap sekian banyak fragmen hidup dan kematian yang berjumlah jutaan dibanding hanya sekedar sebuah aliran ilmu sastra.
Seorang penyair seringkali menjadikan lamunan sebagai lumbung-lumbung tak bertuan yang digalinya habis-habisan. Siang dan malam. Lamunan itu sendiri dibentuk oleh matanya yang selalu liar mengawasi sekitar. Telinganya yang dilebarkan agar bisa mendengar lebih dari apa yang bisa didengar. Dan hatinya dibiarkannya leluasa menjadi merdeka.
Puisi adalah terjemahan bebas dari sebuah ekspresi hati. Jika di dalam teori-teori, terdapat penggolongan apakah sebuah karya puisi termasuk dalam pujangga lama, pujangga baru, kontemporer, mbeling, dan lain sebagainya, namun saya berani mengatakan bahwa alirannya jauh lebih banyak dari itu.
Apa saja itu?
Jika kamu sedang menulis puisi, entah dengan tema apa atau maksud bagaimana, maka itu adalah puisi aliranmu. Apabila seorang wanita patah hati lalu gila-gilaan mencurahkan segala kepedihannya melalui bahasa-bahasa puisi, maka puisinya adalah aliran si wanita itu. Begitu pula jika ada seseorang yang begitu mencintai hujan sehingga dia menenggelamkan diri dalam puisi-puisi yang tak beranjak sedikitpun dari rahim mendung hitam, maka aliran puisinya adalah aliran seseorang itu.
Tidak ada satu puisipun yang bisa diperangkap dalam aliran tertentu. Puisi terlalu merdeka untuk difragmentasi. Saya bahkan lebih setuju jika puisi tidak digolongkan sebagai sebuah ilmu. Namun menjadi semesta yang bebas merdeka tanpa sekat maupun pagar. Biarkan saja liar. Paling penting adalah jangan sampai itu membuat kesakitan orang lain. Apalagi jika sampai melanggar kemanusiaan. Itu tidak sopan.
Puisi sebagai ilmu akan banyak dibatasi oleh kurikulum yang membuat keliarannya membatu. Sehingga terkadang orang harus berpikir begitu panjang hanya untuk sekedar memulai. Di pelupuk matanya, terbayang koridor panjang yang membatasi pandangan. Serba salah. Takut salah. Akhirnya sebagiannya menyerah.
Mungkin perumpamaan paling mendekati adalah dengan membandingkan puisi dengan siklus hidup kupu-kupu. Sebuah keindahan yang aneh dan sempurna. Bagaimana dari telur sebesar kutu lalu menetas menjadi ulat yang sedikit menakutkan, lantas membungkus dirinya dalam rajutan benang untuk kemudian berubah menjadi hewan terbang yang cantik dan lucu.
Ya. Puisipun bisa dengan mudah bermetamorfosa. Bahkan mungkin seharusnya demikian. Saat permulaan menuliskan bab-bab percintaan, lalu berikutnya berkutat dengan tema-tema kemanusiaan, dan selanjutnya tercurah pada perkara-perkara kematian.
Itu semua bisa terjadi jika tidak terjebak dalam pakem yang sebenarnya merupakan rumah tahanan. Karena itu saya berani menyarankan kepada siapapun yang menyukai puisi dan atau bagi mereka yang ingin memulai menulis puisi, tinggalkan buku-buku bacaan.
Terus terang semenjak dahulu saya sama sekali tidak rajin membaca pustaka-pustaka dari para pujangga mapan dan terkenal. Saya hanya pernah mampir sekali-kali, mengagumi cara mereka bertutur, menyukai cara mereka bermajas. Tapi sampai di situ saja. Saya tahu Rumi, tapi saya tidak membaca buku-bukunya. Saya tahu Emha, namun saya tidak berkutat dalam pemikirannya. Saya tahu Gibran, sekedar bahwa dia adalah pujangga kenamaan.