Manakala hujan dijadikan rezim yang mengibaratkan setiap bulirnya sebagai perkara horor yang mencekam hati, kau pasti akan segera merindukan kemarau lebih dari sebelumnya. Bagimu kekeringan mungkin lebih masuk akal, dibanding berkubang genangan yang merupakan tumbal dari kenangan yang gagal.
Dan itu bukan delik perkara biasa.
Kau sama sekali tidak boleh menyalahkan hujan hanya karena pelupuk matamu membasah. Bisa jadi kau sedang meratapi sepi, mencoba membunuhnya, tapi tak berhasil karena kau terlalu sentimentil.
Bukan juga gerimis yang mesti kau jadikan kambing hitam. Gerimis sama sekali tidak bisa diternakkan. Ia hidup di ranch maha luas yang tak terjangkau pikiranmu. Lagipula perumpamaan kambing itu salah besar. Seharusnya kau menyalahkan gagak hitam. Sebuah simbol kematian. Apakah itu sepotong kecil ruh, atau harapan yang runtuh.
Ini memang bukan perkara yang mudah usai. Apalagi jika kemudian berurusan dengan lidah badai.
Tapi setidaknya kau tahu bahwa rezim hujan itu tak pernah ada. Sebuah paham ala kadarnya yang sengaja diproklamirkan oleh orang-orang yang menghentikan asa. Bahkan sebelum sempat menaiki tangga kereta.
Jakarta, 23 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H