Seorang perempuan, saat dia jatuh cinta kepada hujan, akan menyerahkan gerimis di matanya, sebagai persediaan, ketika kemarau telah nampak di kejauhan. Agar bunga-bunga yang dia tanam tetap bisa tumbuh. Meski hatinya yang hanya sepotong perlahan mulai runtuh.
Seorang perempuan, yang membenci hujan karena sebab-sebab yang tidak beralasan, akan bersembunyi di balik daun pintu. Menunggu. Hujannya kehabisan waktu, atau waktunya tak punya lagi rindu.
Padahal, demi setempayan hujan, rawa yang mengering kembali tergenang, sungai yang mengecil kembali berjeram, dan hati yang kehilangan kembali bisa mengenang.
Bagi seorang perempuan, hujan adalah perpustakaan. Tempatnya menyimpan buku-buku catatan. Semenjak dia menjumpai matahari, menemui sesajian pelangi, terhalang mendung, dan menghadang semua kejadian murung, melalui senyum dan tawa. Terpaksa maupun apa adanya.
Begitu sederhana.
Dengan luka-luka di antaranya.
Jakarta, 19 Februari 2020