Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Realita

18 Februari 2020   17:35 Diperbarui: 18 Februari 2020   22:46 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika kau memasuki sebuah dunia yang menurutmu aneh karena banyak petruk menjadi raja dan arjuna kehilangan ketampanan sehingga beralih profesi menjadi don juan kelas tape ketan, maka kau sudah sungguh-sungguh siuman. Ini dunia yang sebenarnya. Bukan negeri khayalan yang pernah direka oleh cinderella.

Ketika kau menaiki gerbong kereta yang berdesak-desakan dengan kebanyakan penumpang menggadaikan mata pada gawai yang berusaha menipunya dan mereka iya-iya saja, lalu seorang ibu bersama balitanya nyaris terjungkal saat masinis melakukan pengereman gagal, maka kau sedang berada di pesta-pesta realita. Bukan ilusi yang merupakan bagian dari rencana para pesulap dalam membuat mulut menganga.

Ketika kau berjumpa dengan kemewahan sebuah kota dengan lampu-lampu raksasa yang bahkan tak cukup menutupi dindingnya yang terbuat dari kaca, lantas kau diberinya pemahaman, melalui iklan kecantikan. Kau sama sekali tak paham, namun kau tetap membelinya tanpa pikir panjang. Maka kau benar-benar kebanyakan makan kerupuk gadung hanya sekedar untuk menghilangkan hati murung. Setelahnya kau tahu bahwa ini semua bukan hologram. Namun kenyataan yang diperjual belikan.

Ketika kau bermimpi di pertengahan malam yang kehujanan. Dalam mimpimu kau tengah berada di persawahan yang para petaninya nampak termangu akibat harga pupuk yang membuat tenggorokan kelu. Lalu kau berpindah ke segmen mimpi lain saat kau bersandar di batang nyiur dan melihat para nelayan mengendarai puncak gelombang lalu pulang dengan perolehan ikan tak lebih dari seperempat keranjang karena terlalu banyak plastik dan minyak di lautan, maka mimpimu bukanlah suatu kebetulan. Namun sebuah kebenaran yang bisa kau temukan di linimasa dan koran-koran.

Selanjutnya tak ada ketika karena kau tak hendak lagi berbuat apa-apa. Menganggap semuanya baik-baik saja. Walau sesungguhnya realita itu cukup banyak mencederai romantika.

Jakarta, 18 Februari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun