Aku sedang membayangkan. Jika langit malam ini runtuh. Bersama bintang-bintang yang sedang padam di tubuhnya. Aku akan melarikan diri. Mencari lautan. Atau apa saja yang terlihat dalam. Untuk menyelam. Atau mungkin malah tenggelam.
Tentu aku akan menyelamatkan sepotong lampu dan jam dinding. Yang aku cari dari jalanan dan aku curi dari toko jam. Dalam ketidaktahuan nanti, aku tak mau kegelapan mengurungku, dan aku lalu juga tak punya waktu.
Atau bayanganku berubah. Langit tidak runtuh, namun kejoranya jatuh. Aku tidak punya lagi panduan. Kapan akan tiba fajar. Dan arah mana matahari akan menyingsingkan suar. Aku tetap melarikan diri. Mencoba terhindar dari sepi. Menuju kegaduhan. Mungkin tempat orang berjudi. Atau tempat-tempat yang biasanya ramai untuk bunuh diri.
Aku akan tetap membawa sepotong lampu dan jam dinding. Kali ini tidak aku curi dari siapa-siapa. Aku hanya akan mencopotnya di taman yang hanya terkadang didatangi orang, dan dari meja kerjaku yang jarang dikunjungi waktu senggang. Aku harus yakin aku tidak disergap oleh gelap. Dan aku tidak sedang berkutat di tempat yang waktunya hanya menunjukkan jam-jam pengap.
Pada saatnya nanti. Ketika semua lamunan memutuskan untuk berhenti. Aku menyadari diriku sedang termangu. Di halaman yang seterang matahari saat malam hari. Di depan sebuah toko jam yang berjualan banyak jam dinding namun semua pendulumnya telah mati.
Sementara di tanganku, aku masih memegangi sepotong lampu, dan jam dinding yang angka-angkanya mulai beku.
Bogor, 15 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H